Kamis, 31 Oktober 2019

SAVANA SUNDALAND : TANAH BERPOLA BIOGEOGRAFIS DI HUTAN KHATULISTIWA ASIA TENGGARA


Gambar 1: Sabana pembatas Sundaland Utara dan Selatan

Perbedaan biogeografis yang mencolok antara Sundaland barat (Semenanjung Melayu dan Sumatra) dan timur (Kalimantan) sangat mengejutkan peneliti, mengingat sejak lama daerah-daerah ini membentuk satu daratan tunggal. Suatu penghalang dispersal dalam bentuk koridor savana kering selama maxima glasial diperkirakan jadi penyebab perbedaan ini. Namun, durasi singkat dari kondisi sabana kering ini membuatnya menjadi satu-satunya penyebab yang tidak mungkin untuk pola biogeografis. Penjelasan tambahan mungkin terkait dengan tanah berpasir kasar di Sundaland pusat.

Untuk menguji dua hipotesis noneksklusif ini, peneliti melakukan analisis kelompok bunga berdasarkan 111 inventarisasi pohon dari Semenanjung Malaysia, Sumatra, dan Kalimantan. Kemudian mengidentifikasi indikator untuk setiap kluster yang melintasi batas biogeografi Sundaland pusat dan yang tidak melintasi dan menguji apakah kekeringan dan toleransi tanah kasar dari genus indikator berbeda di antara mereka.

Peneliti menemukan 11 cluster floristik terminal, 10 terjadi di Kalimantan, 5 di Sumatra, dan 3 di Semenanjung Malaysia. Indikator taksa cluster yang terjadi di seluruh Sundaland memiliki toleransi tanah kasar yang jauh lebih tinggi daripada yang dari cluster yang terjadi di timur atau barat Sundaland pusat. Untuk toleransi kekeringan, tidak ada pola yang terdeteksi. Hasil ini menunjukkan bahwa tanah dasar laut yang terbuka berperan sebagai penghalang penyebaran di Sundaland pusat. Namun, peneliti tidak dapat mengkonfirmasi keberadaan koridor sabana. Temuan ini memperjelas bahwa penjelasan biogeografis untuk distribusi tumbuhan dan hewan di Sundaland, termasuk kemungkinan rute migrasi untuk manusia purba, perlu dievaluasi kembali.
Tanah di Paparan Sunda (Sundaland) berbentuk pola biogeografis di hutan khatulistiwa Asia Tenggara. Seperti halnya dengan Basin Amazon, Congo Basin, dan New Guinea, Sundaland Asia Tenggara membentuk salah satu hutan tropis ekuatorial terbesar di dunia (Richard, 1996).

Sifat insuler masa kini dari wilayah ini tidak mewakili situasi historis karena sebagian besar waktu daerah tersebut membentuk daratan tunggal sebagai akibat dari penurunan permukaan laut yang terkait dengan peristiwa pendinginan global (Voris, 2000). Meskipun sejarah koneksi tanah ini panjang, ada batas biogeografis yang ditandai antara barat (Semenanjung Melayu dan Sumatra) dan Sundaland timur (Kalimantan) (Meijaard (2004), Woodruff (2010) dan Lim dkk (2011).).

Perbedaan-perbedaan ini dijelaskan oleh hipotesis koridor savana berorientasi utara-selatan melalui pusat Sundaland yang menghalangi penyebaran spesies hutan basah. Meskipun ada bukti kuat untuk kondisi yang lebih kering di wilayah tersebut selama periode glasial terakhir, keberadaan koridor sabana utara-selatan terus-menerus melalui pusat Sundaland tetap kontroversial, dan sebagian besar proses rekonstruksi vegetasi-iklim bertentangan. kemungkinan ini.

Lebih lanjut, hipotesis savana-koridor didasarkan pada kondisi iklim selama maxima glasial ketika luas lahan maksimal. Situasi ini ada hanya 17% dari waktu selama 250.000 tahun terakhir, sehingga tidak mungkin bahwa itu semata-mata bertanggung jawab atas pola biogeografi yang diamati di Sundaland.

Penjelasan lain untuk batas biogeografis di Sundaland tengah berkaitan dengan kondisi tanah dasar laut yang terbuka. Peta tekstur tanah lapisan atas saat ini di wilayah tersebut menunjukkan bahwa tanah bertekstur kasar, sering tidak dikeringkan dengan baik adalah fitur umum dari bagian tengah wilayah tersebut (Gambar 1). Tanah-tanah ini membatasi pertumbuhan tanaman karena sangat miskin unsur hara; mereka saat ini mendukung rawa gambut di lokasi yang memiliki drainase buruk dan hutan kurang subur di lokasi yang kering, keduanya dengan komposisi spesies yang berbeda, umumnya produktivitas rendah, dan keanekaragaman yang buruk dibandingkan dengan hutan dataran rendah yang lebih kaya di daerah bertekstur halus, lebih kaya nutrisi dan lebih baik- tanah yang dikeringkan (Paoli, 2010).

Sedimen dari dasar laut Sundaland pusat juga terdiri dari pasir bertekstur kasar ini. Data palynologi dari timur Pulau Natuna (Sun dkk, 2000) mengandung Poaceae pollen yang lebih umum daripada situs pollen ekuatorial mana pun, menunjukkan bahwa daerah Sundaland yang ditutupi dengan rawa-rawa air tawar yang didominasi rumput luas selama periode laut turun. Untuk sebagian besar waktu, hubungan antara Sundaland timur dan barat mengalir melalui dasar laut berpasir kasar ini (Gbr. 1), yang dapat membentuk penghalang dispersal abadi untuk taksa yang sakit yang disesuaikan dengan kondisi ini.

Catatan: taksa adalah pengelompokan makhluk hidup dengan makhluk hidup lain yang serupa yang diberi nama secara ilmiah, suatu kumpulan yang mencakup mahluk-makhluk hidup tertentu dan sementara itu mengeluarkan yang lain.


Migrasi Manusia Awal Melalui Sundaland.

Kehadiran koridor sabana di Sundaland pusat telah digunakan sebagai argumen untuk penyebaran cepat manusia purba (antara sekitar 60.000 dan 45.000 tahun yang lalu) dari daratan Asia Tenggara dan pusat Sundaland ke Jawa dan kemudian ke Indonesia bagian timur, Papua New Guinea, dan Australia (Bird, Taylor dan Hunt, 2005). Namun, keberadaan rawa dan hutan lindung di Sundaland tengah, seperti yang disarankan oleh penelitian kami, tidak akan mendukung rute penyebaran manusia ini karena rawa dan hutan lindung, selain sulit dilintasi, umumnya merupakan sistem berproduktivitas rendah dengan margasatwa terbatas dan produk lain yang bisa dimakan untuk pemburu-pengumpul (Paoli dkk, 2010).

Akan lebih mungkin bahwa manusia menggunakan rute pantai di sepanjang Sundaland untuk mencapai Jawa dan sekitarnya, terutama karena, selama periode ini, sebagian besar Sundaland pusat akan terendam melalui laut, hanya menyisakan area daratan kecil di Sundaland pusat sebagai koneksi darat.


Referensi

  1. Lim HC, Rahman MA, Lim SL, Moyle RG, Sheldon FH. 2011. "Revisiting Wallace's haunt: Coalescent simulations and comparative niche modeling reveal historical mechanisms that promoted avian population divergence in the Malay Archipelago". Evolution 65:321–334.
  2. Meijaard E. 2004. "Solving mammalian riddles. A reconstruction of the Tertiary and Quaternary distribution of mammals and their palaeoenvironments in island Southeast Asia". PhD thesis (Australian National University, Canberra, Australia)
  3. Sun X, Li X, Luo Y, Chen X. 2000. "The vegetation and climate at the last glaciations on the emerged continental shelf of the South China Sea". Palaeogeogr Palaeoclimatol Palaeoecol.
  4. Paoli GD, et al.2010. "Biodiversity conservation in the REDD". Carbon Balance Manag 5:7.
  5. Bird MI, Taylor D, Hunt C. 2005. "Palaeoenvironments of insular Southeast Asia during the Last Glacial Period: A savanna corridor in Sundaland?" Quat Sci Rev 24:2228–2242.
  6. Richards PW. 1996. "The Tropical Rain Forest: An Ecological Study". (Cambridge Univ Press, Cambridge, UK), 2nd Ed.
  7. Voris HK.2000. Maps of Pleistocene sea levels in Southeast Asia: Shorelines, river systems and time durations. J Biogeogr 27:1153–1167.
Source

PNAS (Proceeding articles of the National Academy of Sciences of the United States of America. Edited by David L. Dilcher, Indiana University, Bloomington, IN, and approved June 16, 2011 (received for review March 1, 2011). PNAS July 26, 2011 108 (30) 12343-12347

MENCARI LETAK KERATON PAJAJARAN

By Deden Heryana

Menurut beberapa naskah Jawa Barat dan juga dari hasil penelitian Belanda, bahwa lokasi keraton Pajajaran merujuk pada Lawang Gintung sekitar prasasti batu tulis Bogor.

Pasca keraton Pajajaran dibakar, dibumihanguskan tanpa sisa oleh pasukan Banten pada tahun 1579 M, bekas-bekasnya mungkin masih bisa dikenali. Kemudian bekas lokasi keraton Pajajaran itu seiring waktu berubah menjadi hutan yang sangat lebat.

Pada tahun 1699 M Gunung Salak meletus, dengan letusan yang sangat dahsyat (sebagian ahli vulkanologi menyebutnya longsoran Gunung Salak, bukan letusan). Kemudian pada tahun 1702 M, Gubernur Jendral Belanda di Batavia memerintahkan Riebeck untuk meninjau lokasi mana saja yang terkena dampak letusan dahsyat Gunung Salak. Riebeck melihat hutan lebat dibekas lokasi keraton pajajaran itu telah berubah menjadi tanah lapang yang luas dan kosong.

Hutan bekas lokasi keraton pajajaran itu telah tertimbun lumpur dan lahar Gunung Salak yang telah mengeras.

Pakuan Pajajaran atau Pakuan
(Pakwan)  atau Pajajaran adalah pusat pemerintahan Kerajaan Sunda, sebuah kerajaan yang selama beberapa abad (abad ke-7 hingga abad ke-16) pernah berdiri di wilayah barat pulau Jawa. Lokasi Pakuan Pajajaran berada di wilayah Bogor, Jawa Barat sekarang.

Pada masa lalu, di Asia Tenggara ada kebiasaan menyebut nama kerajaan dengan nama ibu kotanya sehingga Kerajaan Sunda sering disebut sebagai Kerajaan Pajajaraan.

Lokasi Pajajaran pada abad ke 15 dan abad ke-16 bisa dilihat pada peta Portuguese Colonial Dominions in India and the Malay Archipelago – 1498-1580 di atas.

Pakuan Pajajaran hancur, rata dengan tanah, pada tahun 1579 akibat serangan pecahan kerajaan Sunda, yaitu Kesultanan Banten. Berakhirnya zaman Kerajaan Sunda ditandai dengan diboyongnya Palangka Sriman Sriwacana (singgahsana atau tempat penobatan raja-raja Sunda), dari Pakuan Pajajaran ke Keraton Surosowan di Banten oleh pasukan Maulana Yusuf.

Batu berukuran 200x160x20 cm itu diboyong ke Banten karena tradisi politik agar di Pakuan Pajajaran tidak dimungkinkan lagi penobatan raja baru, dan menandakan Maulana Yusuf adalah penerus kekuasaan Sunda yang sah karena buyut perempuannya adalah puteri Sri Baduga Maharaja, raja Kerajaan Sunda. Palangka Sriman Sriwacana tersebut saat ini bisa ditemukan di depan bekas Keraton Surosowan di Banten. Masyarakat Banten menyebutnya Watu Gilang, berarti mengkilap atau berseri, sama artinya dengan kata Sriman.

Dalam kropak (tulisan pada lontar atau daun nipah) yang diberi nomor 406 di Mueseum Pusat terdapat petunjuk yang mengarah kepada lokasi Pakuan. Kropak 406 sebagian telah diterbitkan khusus dengan nama carita parahyangan. Dalam bagian yang belum diterbitkan (biasa disebut fragmen K 406) terdapat keterangan mengenai kisah pendirian keraton Sri Bima, Punta, Narayana Madura Suradipati:
 "Di inya urut kadatwan, ku Bujangga Sedamanah ngaran Sri Kadatwan Bima Punta Narayana Madura Suradipati. Anggeus ta tuluy diprebolta ku Maharaja Tarusbawa deung Bujangga Sedamanah. Disiar ka hulu Ci Pakancilan. Katimu Bagawat Sunda Mayajati. Ku Bujangga Sedamanah dibaan ka hareupeun Maharaja Tarusbawa.
Artinya :
Di sanalah bekas keraton yang oleh Bujangga Sedamanah diberi nama Sri Kadatuan Bima Punta Narayana Madura Suradipati. Setelah selesai [dibangun] lalu diberkati oleh Maharaja Tarusbawa dan Bujangga Sedamanah. Dicari ke hulu Ci Pakancilan. Ditemukanlah Bagawat Sunda Majayati. Oleh Bujangga Sedamanah dibawa ke hadapan Maharaja Tarusbawa."
.
Dari sumber kuno itu dapat diketahui bahwa letak keraton tidak akan terlalu jauh dari "hulu Ci Pakancilan". Hulu sungai ini terletak di dekat lokasi kampung Lawanggintung yang sekarang, sebab ke bagian hulu sungai ini disebut Ciawi.

Dari naskah itu pula kita mengetahui bahwa sejak zaman Pajajaran sungai itu sudah bernama Ci Pakancilan. Hanyalah juru pantun kemudian menerjemahkannya menjadi Ci Peucang. Dalam bahasa Sunda Kuna dan Jawa Kuna kata "kancil" memang berarti "peucang".


Referensi

  1. Argadipraja, R. Duke. (1992). Babad Panjalu Galur Raja-raja Tatar Sunda. Bandung: Mekar Rahayu.
  2. Ayatrohaedi. (2005). Sundakala: Cuplikan Sejarah Sunda Berdasarkan Naskah-naskah "Panitia Wangsakerta" dari Cirebon. Jakarta: Pustaka Jaya.
  3. Ekadjati, Edi S. (2005). Polemik Naskah Pangeran Wangsakerta. Jakarta: Pustaka Jaya.
  4. Hidayat, Yayat. Mengenal Warisan Kerajaan Panjalu. Artikel Majalah Misteri Edisi 20 Peb - 04 Mar 2010.
  5. Iskandar, Yoseph (1997). Sejarah Jawa Barat: Yuganing Rajakawasa. Bandung: Geger Sunten.
  6. Sukardja, H.Djadja. (2002). Situs Karangkamulyan. Ciamis: H. Djadja Sukardja S.
  7. Pleyte, Cornelis Marinus. 1911-1913, "Dutch, Book, Illustrated edition: De inlandsche nijverheid in West-Java : als sociaal-ethnologisch verschijnsel / door C. M. Pleyte." Batavia: Javasche boekhandel &​ drukkerij.
  8. Hystoryana.blogspot.com

MENGUAK SOSOK SI KABAYAN SEBENARNYA

image credit from hiystoryana.blogspot.com
Nama "Si Kabayan" sudah tidak asing lagi di teling Urang Sunda. Pun demikian di seantero Nusantara, Si Kabayan dikenal sebagai bagian dari budaya Sunda.

Sosok imajiner masyarkat Sunda yang bisa mancala putra mancala putri (berubah-ubah peran), adalah Si Kabayan. Sosoknya sangat legendaris, menjadi bagian dari kekayaan alam batin manusia Sunda.

Kabayan pernah memerankan diri sebagai dukun (Moh Ambri), juragan (Adang S), sufi (Yus R Ismail), nongol pada zaman Jepang (Achdiat K Mihardja), wartawan (Muhtar Ibn Thalab), bahkan jurik (Tini Kartini).

Di tangan Min Resmana, Si Kabayan malah muncul dalam Pangantenan (1966), Kasurupan (1966), Ngandjang Kapageto (1966), Raja Manaboa (1966), dan Petapa (1967). Apalagi ketika bermain di layar kaca, Kabayan beralih peran dalam Si Kabayan Mencari Jodoh (1994), Si Kabayan Saba Kota, Si Kabayan dan Gadis Kota, Si Kabayan Saba Metropolitan, dan Si Kabayan: Bukan Impian (2000).

Salah satu sisi menarik dari Si Kabayan adalah rasa humornya yang sangat tinggi. Hal itu mengingatkan memori kolektif kita kepada Ali Baba atau Nashruddin Khaja di Timur Tengah. Ia cerdas, jenaka, kritis, serta memandang segala sesuatu dengan sinis lewat bahasa yang ramah dibaur kelakar.

Dengan caranya sendiri, di mata Si Kabayan semua persoalan menjadi cair. Hidup yang rumit atau mungkin keadaan ekonomi yang mencekik disikapi dengan sederhana. Wilayah pengalaman keagamaan pun diimani tidak dengan fanatisme membabi buta, tetapi dengan penghayatan biasa yang justru mampu menyelami aspek substansinya.

Dalam berbicara tentang seksualitas, si Kabayan mengungkapkannya dengan detail tanpa harus jatuh dalam alur cerita pornografis sebagaimana dengan bagus ditulis Ayatrohaedi dalam makalahnya, “Si Kabayan: Cawokah atau Jorang?”, dalam seminar “Seks, Teks, Konteks: Tubuh dan Seksualitas dalam Wacana Lokal dan Global” (2004).


Ambivalensi

Apakah Si Kabayan mencerminkan manusia yang ambivalen? Rassers (1941) menyebutnya demikian, di mana dunia ketuhanan dapat dipadukan dengan dimensi kemanusiaan. Si Kabayan menjadi semacam manusia setengah dewa. Utuy T Sontani (1920-1979) menyebutnya sebagai manusa anu geus teu nanaon ku nanaon, manusia yang selalu berada di titik moderat, ngajegang antara ekstrem kiri dan ekstrem kanan.

Dalam tafsir Haji Hasan Mustapa, sufi besar Sunda yang konon disebut-sebut sebagai yang pertama bersama Snouck Hurgronye menghimpun dongeng rakyat Si Kabayan, disebutkan,
 "Lamun jalma kudu ngagugu kabeh kana kahayang batur, tangtu ripuh anu ngagugu ngenah anu digugu//Lamun jalma embung ngagugu kana kahayang batur, tangtu ripuh nu hayang digugu, ngenah nu embung ngagugu//Anu matak rapihna lamun silih gugu, satengah jeung satengah, sakadar henteu matak ripuh salah saurang."
Bukankah orang dengan filsafat moderasi seperti ini yang dapat kita kategorikan sebagai orang yang akan meraih top leader dan pada gilirannya akan membuka jalan untuk perubahan yang diinginkan? Hal itu lebih lanjut ditulis Haji Hasan Mustapa,
 Kaula ayeuna ngawakcakeun jalan karahayuan, yen urang sugria manusa kajajaden taya nu boga. Pusakana nyaah ka sasama, jadi rapih pada sili pihapekeun diri, rumasa pada dadasar sabar tawekal (Sekarang saya menjelaskan jalan kesejahteraan, yaitu kita semua merupakan manusia ciptaan, tidak ada yang memiliki. Kuncinya, kasih kepada sesama, damai saling menitipkan diri, merasa berpijak pada sikap sabar dan pasrah).
Sosoknya yang teu nanaon ku nanaon (tidak apa-apa oleh apapun) juga mencerminkan manusia yang mampu melampaui hasrat dirinya untuk tidak terserap dalam kuasa, benda, dan wibawa. Ia menjadi semacam diri yang tidak kemudian asin ketika dilemparkan ke tengah lautan. Ia mampu mengontrol harta, bukan sebaliknya dikontrol harta.

Dalam paradigma keagamaan, teu nanaon ku nanaon juga menyiratkan Si Kabayan sebagai manusia yang tidak pernah reureuh (berhenti) mencari kebenaran walaupun ia, misalnya, harus meruntuhkan kekeramatan lembaga kekiyaian atau mungkin memerankan diri sebagai dukun dan jurig. Peran-peran sosial itu dilakoninya dengan rasa jenaka, riang, dan gembira.

Sikap jenaka dan humor tampaknya dijadikan media, bukan hanya pelepasan untuk menghibur diri dan mengkritik orang lain, tetapi justru mengkritisi dirinya sendiri. Bagaimana, misalnya, kita pernah mendengar dialog Kabayan dengan Lamsijan. Kabayan selalu tertawa ketika menemukan jalan menanjak, tetapi mencucurkan air mata manakala jalan itu menurun.

Ternyata jawaban yang diberikan kepada Lamsijan sangat telak, “Kalau kita menanjak, artinya kita akan menemukan jalan yang menurun. Sebaliknya, jalan menurun memastikan kita untuk menapaki jalan menanjak.”


Otokritik

Selama ini, diakui atau tidak, justru sosok si Kabayan mengalami reduksi pencitraan. Yang muncul ke permukaan adalah Kabayan dengan wajah tunggal: sebagai representasi dari manusia malas dan tidak serius. Pencitraan ini kemudian digeneralisasi untuk mengilustrasikan masyarakat Sunda sehingga muncul stereotip seperti itu.

Kekalahan manusia Sunda untuk mengartikulasikan kiprah politik, sosial, dan ekonominya mendapatkan basis legitimasi kultural melalui Kabayan yang telah mengalami pemaknaan reduktif.

Seiring dengan ini pula mencuat budaya menyimpang: kurung batokeun, komunikasi heurin ku letah, bengkung ngariung bongkok ngaronyok, pakia-kia, paaing-aing, dan lain-lain seraya entah ke mana absennya budaya positif, semisal siger tengah (moderat), gede wawanen (vokal membela kebenaran), ulah cueut ka nu hideung ulah ponteng ka nu koneng (tegas dalam membela kebenaran), someah hade ka semah (terbuka dan transparan), serta ngajaga lembur, akur jeung dulur, panceg na galur. Di titik inilah manusia Sunda berdiri di simpang jalan.

Source
"Si Kabayan Manusia Setengah Dewa" oleh Dr. Asep Salahudin, Sufisme Sunda: Hubungan Islam dan Budaya dalam Masyarakat Sunda. radarcirebon.com 

PEREBUTAN KERAJAAN SUNDA GALUH

By Deden Heryana


Sejarah masa silam di Pulau jawa diwarnai timbul tenggelamnya kerajaan-kerajaan besar dari waktu ke waktu. Kerajaacn-kerajaan besar seperti Tarumanagara, Sunda, Galuh, Kalingga, Mataram Kuno, Kahuripan, Janggala, Kediri, Singasari, Majapahit, Pajajaran dan lain sebagainya mewarnai sejarah pulau Jawa. Kerajaan tersebut mengalami berbagai proses awal, keemasan hingga keruntuhannya.

Bila kita telah mempelajari sejarah kerajaan di Pulau Jawa, ada banyak peristiwa perebutan kekuasaan dalam kerajaan tersebut. Ada banyak nama Kerajaan yang disebutkan di atas.

Jika Anda pernah menonton tayangan sejarah dari 10000 tahun hingga 2017 karya anak bangsa dalam video youtube kanal: Lazardi Wongjogja kita melihat peta yang berubah dari waktu ke waktu. Peta itu menunjukan wilayah kekuasaan suatu kerajaan. Khusus kita cermati sejak zaman Kerajaan Salakanagara, Tarumanagara, Sunda, Galuh dan Pajajaran berlangsung hampir 1000 tahun. Peta Jawa barat (termasuk Banten dan DKI Jakarta sekarang ini) yang ditunjukkan dalam video cenderung tidak banyak perubahan. Namun sebaliknya di wilayah Jawa Timur dan sebagian Jawa Tengah bagian timur, peta berubah-ubah yang menunjukkan wilayah dan nama-nama Kerajaan yang lahir dan kemudian hilang. Apa yang terjadi?

Mencermati gambaran garis waktu (timeline) dan kronologi sejarah. Sepintas kita menyimpulkan untuk wilayah Jawa Tengah (bagian timur) dan Jawa Timur diwarnai perebutan kekuasaan atau peperangan yang kemudian meruntuhkan kerajaan tersebut. Misalnya Kalingga - Mataram kuno - Kahuripan - Janggala & Kediri, Singasari, majapahit dan seterusnya. Wilayah itu sering terkoyak. Kita dengan sederhana menyimpulkan adanya peristiwa perebutan kekuasan dan memang sejarah mencatatnya seperti itu.

Lalau bagaimana dengan wilayah Jawa Barat dan sebagian Jawa Tengah (wilayah Galuh) itu? Wilayah itu selanjutnya dikenal sebagai Tatar Pasundan. Sepertinya adem ayem manakala tetangga wilayah terkoyak-koyak. Apakah di Tatar Pasundan tidak ada perebuatan kekuasaan?

Sebenarnya wilayah Tatar Pasundan juga diwarnai perebutan kekuasaan antar-keturunannya. Kita kupas di bawah ini:
  • Tahun 669. Tahun ini adalah terpecahnya Wilayah Kerajaan Tarumanagara menjadi 2 kerajaan yaitu Sunda dan Galuh dengan batas Sungai Citarum. Peristiwa ini bersifat damai 
  • Tahun 723 Perebutan kekuasaan antara Purbasora dan Sena (Bratasenawa) hingga tersingkirnya Sena. Kekuasaan Sena  di Galuh diambilalih Purbasora dan Sena mengungsi ke Mataram.
  • Tahun 732 Raja Galuh Purbasora digulingkan oleh Sanjaya anak dari Sena (Bratasenawa) Kemudian Sanjaya menjadi Raja Galuh dan sebelumnya ia telah bertahta di Kerajaan Sunda juga kemudian ia bertahta di Kalingga.
  • Tahun 732. Tamperan Bramawijaya (putra Sanjaya) mengkudeta Permanadikusumah, raja Galuh.
  • Tahun 739. Raja Galuh Ciungwanara (putra Permanadikusumah) mengkudeta Tamperan Barmawijaya
  • Tahun 825 Raja Sunda, Prabu Gajah Kulon dibunuh Sang Arya Kedaton dengan nama nobat Prabu Darmaraksa Salakabuana. Ia memerintah 4 tahun
  • Tahun 830 Raja Sunda, Sang Arya Kedaton dibunuh seorang menterinya.
  • Tahun 916 Raja Sunda, Rakeyan Kamuning Galling, dengan nama nobat Prabu Pucukwesi tahtanya direbut oleh adiknya sendiri, Rakeyan Jayagiri, Rakeyan Jayagiri naik tahta, dengan nama nobat Prabu Wanayasa Jayabuana..
  • Tahun 916 itu pula  Raja Sunda, Rakeyan Jayagiri menyerang Galuh yang dirajai Rakeyan Jayadrata, namun Gagal. Galuh merdeka.
  • Tahun 920 Masehi, Raja Sunda Rakeyan Jayagiri dibunuh dan digulingkan, oleh Rakeyan Limbur Kancana, atas perintah Prabu Jayadrata.
  • Tahun 930 Raja Sunda Prabu Limbur Kancana sedang bertamu di Kerajaan Galuh, dibunuh oleh seseorang, atas perintah Dewi Ambawati, puteri Rakeyan Jayagiri (Prabu Wanayasa Jayabuana). Tahta Kerajaan Sunda, beralih ke Rakeyan Watuageng, suanii Dewi Ambawati, bernama nobat Praburesi Atmayadarma Hariwangsa.
  • Tahun 1030 Raja Sunda di bawah pemerintahan Prabu Darmaraja, terjadi pemberontakan yang dipimpin oleh Sang Wikramajaya, Panglima Angkatan Laut (Sarwajala) Kerajaan Sunda. Kudeta ini gagal
  • Tahun 1111 Raja Sunda mendapat penentangan dari Batari Hyang Janapati, Ratu Galuh yang beribukota di Galunggung. Berakhir damai.
  • Tahun 1482, Raja Galuh Prabu Dewa Niskala (Ningrat Kancana) diminta untuk mengundurkan diri (impeachmen) karena dianggap melanggar aturan adat (ngarumpak larangan) untuk tidak menikahi istri ti kaluaran (estri Larangan)
  • Tahun 1521, Raja Pajajaran Sri Baduga Maharaja wafat digantikan Prabu Surawisesa. ambisi Cirebon untuk memperluas wilayah kekuasaannya. Ketika Prabu Sanghiyang Surawisesa naik tahta, konflik dengan Pakungwati Cirebon semakin meruncing, hingga menimbulkan perang selama 15 kali.
  • Tahun 1579 Pajajaran runtuh disaat Prabu Ragamulya Suryakancana atau Prabu Pucuk Umun Pulasari menjadi raja terakhir.. Selanjutnya berkembang Kerajaan Cirebon dan Banten.
Demikian kronologi sejarah perebutan kekuasaan di Tatar Pasundan. Semenjak tahun 669 hingga 1579 entitas Kerajaan Sunda-Galuh hingga menjadi Pajajaran tetap eksis sekalipun berkali-kali terjadi perebutan tahta kerajaan. Namun selepas tahun 1579, Pajajaran yang merupakan gabungan Kerajaan Sunda-Galuh sirna ing bumi.
Mencermati peristiwa di atas, ada beberapa analisis:
  1. Eksistensi Kerajaan Sunda-Galuh hingga Pajajaran tetap ada sekalipun terjadi kudeta disebabkan yang berubah hanya rajanya saja. Sedangkan nama kerajaan tidak diubah. Ini yang membedakan dengan wilayah timur dimana bila terjadi perebutan kekuasaan, nama kerajaan diganti, Oleh karenanya eksistensi kerajaan menjadi hilang. Kondisi yang sama dialami di Tatar Pasundan ketika Tarumanagara diubah namanya tahun 669 oleh Sang Tarusbawa.
  2. Beberapa perselsihan tidak selalu berakhir dengan terbunuhnya raja, tetapi berakhir damai. Kondisi ini terjadi karena adanya peran penting dari Sang Maharesi atau Guruloka sebagai pemimpin tertinggi keagamaan. Peran ini merupakan 1 dari tiga pilar kerajaan yang disebut "Tritangtu Jaya di Buana" yaitu, Resi, Ratu, Rama.
Penulis berandai-andai.. Jika dimasa akhir Kerajaan Pajajaran peristiwanya seperti yang berkali-kali terjadi kudeta. tapi Kerajaan tetap ajeg. Ketika Kota Pakuan Pajajaran berhasil dihancurkan (Saya tidak menemukan istilah direbut) Banten dan Cirebon lalu sebaiknya diduduki oleh Raja baru, siapa pun dia, mungkin Pajajaran takkan hilang bak ditelan bumi.


Referensi

  1. Lubis, Nina H. 2003. "Sejarah Tatar Sunda". Bandung: Satya Historika.
  2. Munandar, Agus Aris dan Edi Suhardi Ekajati . 1991. Pustaka pararatwan i bhumi Jawadwipa, parwa 1, sargah 1-4: rangkuman isi, konteks sejarah, dan peta". Yayasan Pembangunan Jawa Barat
  3. Abdur Rahman, Ettai R. S., Edi Suhardi Ekajati. 1991. "Carita Parahiyangan karya Pangeran Wangsakerta: ringkasan, konteks sejarah, isi naskah, dan peta". Yayasan Pembangunan Jawa Barat.
  4. Atja dan Saleh Danasasmita. 1981. "Carita Parahiyangan: Transkripsi, Terjemahan dan Catatan". Bandung: Proyek Pengembangan Permuseuman Jawa Barat.
  5. Atja. 1968. Tjarita Parahijangan Titilar Karuhun Urang Sunda Abad Ka-16 Masehi. Bandung: Jajasan Kebudajaan Nusalarang.
  6. Atja dan Edi. S. Ekadjati. 1987. Pustaka Rajya-Rajya I Bumi Nusantara I.1: Suntingan Naskah dan Terjemahan. Bandung: Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanologi).
  7. Atja dan Saleh Danasasmita. 1981. Carita Parahiyangan (Transkripsi, Terjemahan, dan Catatan). Bandung: Proyek Pengembangan Permuseuman Jawa Barat.
  8. Danasasmita, Saléh. 2015. Melacak Sejarah Pakuan Pajajaran dan Prabu Siliwangi. Bandung: Kiblat Buku Utama.
  9. Danasasmita, Saleh, Ayatrohaedi, Tien Wartini, Undang Ahmad Darsa. 1987. Sewaka Darma (Kropak 408) Sanghyang Siksakandang Karesian (Kropak 630) Amanat Galunggung (Kropak 632). Bandung: Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanologi) Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
  10. Darsa, Undang Ahmad. 2000. Tinjauan Filologis Terhadap Fragmen Carita Parahiyangan Naskah Sunda Kuno Abad XVI Tentang Gambaran Sistem Pemerintahan Masyarakat Sunda (Laporan Penelitian). Bandung: Universitas Padjadjaran.
  11. Meulen, W. J. S. Van der. 1966. Tjarita Parahyangan dan Rahyang Sandjaja dalam Basis edisi Maret XV-6 halaman 161-169, April XV-7 halaman 193-201, Mei XV-8 halaman 277-282, Juni XV-9 halaman 307-313-, Juli XV10. Yogyakarta: Kanisius, Anggota SPS-OPS Pers
  12. Munandar, Agus Aris. 2010. Tatar Sunda Masa Silam. Jakarta Selatan: Wedatama Widya Sastra
  13. Santosa ,Hery B. 1989. Prasati-Prasasti Bertarikh Sanjaya. Yogyakarta: FIB UGM.
  14. Suganda, Her. 2015. Kerajaan Galuh Legenda, Tahta, dan Wanita. Bandung: Kiblat Buku Utama.
  15. Sutjianingsih, Sri, 1994. Sejarah Daerah Jawa Barat. Jakarta: Depdikbud.
  16. Noorduyn, Jacobus. 1966. Enige nadere gegevens over tekst en inhoud van de Carita Parahyangan dalam BKI 122 halaman 366-374. Leiden
  17. -------------. 1962. Het begingedeelte van de Carita Parahyangan dalam BKI 118 halaman 405-432. Leiden.
  18. Histiryana. blogspot.com

MUSNAHNYA IBUKOTA PAJAJARAN KARENA LETUSAN GUNUNG SALAK?

By Deden Heryana

Sebuah catatan dari tahun 1702 dari Ekspedisi Belanda Raam & Coops, menceritakan keadaan yang diakibatkannya. Pada catatan itu tertulis, ”Dataran tinggi antara Batavia dengan Cisadane di belakang bekas keraton raja-raja Jakarta (maksudnya Pajajaran) yang disebut Pakuan (Kota Bogor sekarang) yang asalnya berupa hutan besar, setelah terjadi gempa bumi berubah menjadi lapangan luas dan terbuka, tanpa pohon-pohonan sama sekali.

Permukaan tanah tertutup dengan tanah liat merah yang halus seperti biasa digunakan tukang tembok. Di beberapa tempat telah mengeras sehingga dapat menahan beban langkah yang berjalan di atasnya, tetapi pada tempat tempat lain orang dapat terbenam sedalam satu kaki.

Di tempat bekas keraton yang disebut Pakuan yang terletak di antara Batavia dengan Cisadane belum pernah terjadi bencana lain yang menyebabkan tanah tersobek dan pecah terbelah-belah menjadi retakan-retakan besar yang lebih dari satu kaki lebarnya.”

Gunung Salak tercatat sudah beberapa kali erupsi, tetapi erupsi terbesar adalah erupsi yang terjadi pada 1699 itu. Catatan itu diperkuat beberapa catatan Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) tentang bekas Kerajaan Pakuan Pajajaran tersebut.

Laporan tertulis pertama mengenai lokasi Pakuan diperoleh dari catatan perjalan ekspedisi pasukan VOC.  Setelah mencapai persetujuan dengan Cirebon (1681), Kumpeni Belanda menandatangani persetujuan dengan Banten (1684). Dalam persetujuan itu ditetapkan Cisadane menjadi batas kedua belah pihak.

Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai lokasi “bekas istana” Kerajaan Pajajaran, VOC mengirimkan tiga tim ekspedisi yang masing-masing dipimpin oleh
  1. Scipio (1687)
  2. Adolf Winkler (1690)
  3. Abraham van Riebeeck (1703, 1704, 1709)
  4. Laporan Scipio
Dua catatan penting dari ekspedisi Scipio adalah:
 Catatan perjalanan antara Parung Angsana (Tanah Baru) menuju Cipaku dengan melalui Tajur, kira-kira lokasi Pabrik “Unitex” sekarang. Catatannya adalah sbb.: “Jalan dan lahan antara Parung Angsana dengan Cipaku adalah lahan yang bersih dan di sana banyak sekali pohon buah-buahan, tampaknya pernah dihuni”.
Lukisan jalan setelah ia melintasi Ciliwung. Ia mencatat “melewati dua buah jalan dengan pohon buah-buahan yang berderet lurus dan tiga buah runtuhan parit”. Dari anggota pasukannya, Scipio memperoleh penerangan bahwa semua itu peninggalan dari Raja Pajajaran.

Dari perjalanannya disimpulkan bahwa jejak Pajajaran yang masih bisa memberikan “kesan wajah” kerajaan hanyalah “Situs Batutulis”.

Penemuan Scipio segera dilaporkan oleh Gubernur Jenderal Joanes Camphuijs kepada atasannya di Belanda. Dalam laporan yang ditulis tanggal 23 Desember 1687, ia memberitakan bahwa menurut kepercayaan penduduk, “dat hetselve paleijs en specialijck de verheven zitplaets van den getal tijgers bewaakt ent bewaart wort” (bahwa istana tersebut terutama sekali tempat duduk yang ditinggikan untuk raja “Jawa” Pajajaran sekarang masih berkabut dan dijaga serta dirawat oleh sejumlah besar harimau).

Rupanya laporan penduduk Parung Angsana ada hubungannya dengan seorang anggota ekspedisi yang diterkam harimau di dekat Cisadane pada malam 28 Agustus 1687. Diperkirakan Situs Batutulis pernah menjadi sarang harimau dan ini telah menumbuhkan khayalan adanya hubungan antara Pajajaran yang sirna dengan keberadaan harimau.


Kontroversi Erupsi Gunung Salak 1699

Gunung Salak disebut telah meletus pada awal tahun 1699, tepatnya tengah malam menjelang tanggal 5 Januari. Banyak referensi yang mengutip keyakinan ini, termasuk yang tercantum dalam Data Dasar Gunung Api Indonesia (Edisi Kedua) yang disusun oleh Badan Geologi pada 2011.

Dikutip dari tulisan T. Bachtiar bertajuk “Gunung Salak Tidak Meletus Tahun 1699” yang dimuat dalam Pikiran Rakyat (2018), data dari Badan Geologi itu menyebutkan: “Tahun 1668-1699 terjadi erupsi samping dan erupsi normal, erosi yang merusak lingkungan di Gunung Salak II. Erupsi berupa letusan magmatik.”

Salah satu tulisan yang terhimpun dalam jurnal Duta Rimba (1999) terbitan Perum Perhutani juga menyebut Gunung Salak erupsi pada 1699 (hlm. 50). Letusan tersebut menghasilkan lahar dingin yang mendangkalkan sejumlah sungai di wilayah Jawa Barat yang mengalir sampai ke Batavia (Jakarta), termasuk Sungai Ciliwung.

Buku Gagalnya Sistem Kanal: Pengendalian Banjir Jakarta dari Masa ke Masa (2010) yang ditulis Restu Gunawan mengungkapkan, aliran lahar Gunung Salak—juga dari Gunung Gede dan Pangrango—menyebabkan pengendapan lumpur sungai yang nantinya membentuk Teluk Jakarta. Setelah Gunung Salak meletus pada 1699, lanjutnya, garis batas pantai bergeser 75 meter ke arah laut tiap tahun.

Tulisan Gunawan selaras dengan penjelasan Abdoel Raoef Soehoed dalam buku Banjir Ibukota: Tinjauan Historis dan Pandangan ke Depan (2002). Soehoed bahkan menuliskan bahwa letusan Gunung Salak tahun 1699 membuat Kota Batavia terkena hujan abu, juga dilanda arus lumpur yang besar (hlm. 27).

Referensi yang lebih tua, The Malay Archipelago (1869) karya Alfred Russel Wallace, tidak menyebut secara jelas apakah Gunung Salak memang mengalami erupsi pada 1699 itu. Wallace hanya menuliskan telah terjadi “letusan lumpur besar” dan meyakini setelah itu Gunung Salak sudah tidak aktif lagi (hlm. 174).

Ternyata Bukan Meletus?

Apakah Gunung Salak benar-benar telah meletus pada 1699 itu? Saleh Danasasmita dalam buku Sejarah Bogor (1983) menuliskan bahwa Gunung Salak meletus dengan iringan gempa bumi yang sangat kuat (hlm. 84).

Namun, catatan resmi pemerintah kolonial Hindia Belanda tidak menyebut Gunung Salak mengalami erupsi. Laporan J.A. van der Chijs dalam Nederlandsch-Indisch Plakaatboek 1602-1811 (1886) menuliskan bahwa yang terjadi adalah gempa bumi, bukan letusan gunung.

Van der Chijs mencatat: “Dataran tinggi antara Batavia dengan Cisadane, di belakang bekas keraton raja-raja yang disebut Pakuan, yang semula berupa hutan besar, setelah terjadi gempa bumi, berubah menjadi lapangan luas dan terbuka, sama sekali tidak ada pepohonan.”

Lereng Gunung Salak memang pernah menjadi lokasi pembangunan istana Kerajaan Pakuan atau Pajajaran. Mitosnya, Sri Baduga Maharaja atau Prabu Siliwangi ( 1482-1521) moksa di area gunung ini untuk menghindari kejaran pasukan yang dipimpin putranya, Raden Kian Santang.

Gunung Salak juga menjadi asal-muasal peradaban orang Sunda. Di lereng gunung ini, pada abad ke-2 Masehi pernah berdiri Kerajaan Salakanagara yang diyakini sebagai kerajaan Sunda tertua di Nusantara (Halwany Michrob, dkk., Catatan Masa Lalu Banten, 1993:33). Nama Gunung Salak disebut-sebut berasal dari kata Salakanagara.

Untuk menyelidiki apa yang terjadi di Gunung Salak pada 1699, otoritas Belanda di Batavia mengirimkan tim khusus yang dipimpin Ram dan Coops. Ekspedisi ini, sebut Frederik de Haan dalam Priangan, de Preanger-regentschappen Onder het Nederlandsch Bestuur tot 1811 (1911) dilakukan pada 1701.

Ram dan Coops melaporkan, tidak terdapat laporan serius tentang nasib penduduk di sepanjang Sungai Ciliwung. Jika benar Gunung Salak meletus dan mengalirkan lahar dingin dalam jumlah besar, tentunya akan mengakibatkan kerusakan parah terhadap desa-desa di sekitar sungai itu, juga berpotensi menelan korban jiwa.

Apabila memang terjadi terjangan lahar dingin, tulis Danasasmita (1983), diperkirakan banjir bebatuan itu ambles ke dalam tanah yang terbelah di antara Sungai Ciliwung dan Cisadane, yang kemudian menyebabkan Batavia dilanda banjir.

T. Bachtiar dalam artikel “Guguran Puing dari Gunung Salak” (Pikiran Rakyat, 2018) cenderung meyakini bahwa apa yang terjadi pada 1699 itu bukan letusan, melainkan debris avalanche atau guguran puing. Puing-puing di lereng gunung longsor dan berguguran akibat diguncang gempa bumi kemudian membentuk lembah besar dan dalam, sebagaimana laporan van der Chijs.

Riset Christopher J. Harpel, peneliti dari Earth Observatory of Singapore, yang dilakukan tahun 2015, mengakui bahwa Gunung Salak memang pernah beberapa kali meletus, tapi bukan pada 1699. Erupsi terjadi pada 1688, 1761, 1780, 1902, 1903, 1919, 1923, 1929, 1935, 1936, dan terakhir 1938.

Menurut Harpel, kandungan batu apung dalam deposit aliran guguran puing di Gunung Salak tahun 1699 terlalu sedikit. Ini menyiratkan, dikutip dari Bachtiar, bahwa tidak pernah terjadi letusan yang berbarengan dengan guguran puing.

Jauh sebelumnya, Verbeek dan Fennema dalam laporan bertajuk “De Salak” (1896) dengan lebih tegas menyatakan: “Letusan Gunung Salak pada tahun 1699 tidak terjadi sehingga harus dicoret dari daftar gejala letusan gunung api.”

Lantas, mana yang benar? Apakah Gunung Salak benar-benar erupsi atau tidak pada 1699 itu? Hal ini masih menjadi perdebatan, bahkan terus diteliti meskipun sudah berlalu beratus-ratus tahun silam.

Terkadang, bisa saja terjadi gejala atau peristiwa mirip letusan seperti pada 1699 atau 2018 lalu. Yang jelas, kewaspadaan dan pemantauan harus selalu dilakukan karena sampai saat ini Gunung Salak masih tercatat sebagai gunung api aktif meskipun terakhir diketahui erupsi sudah cukup lama.


Referensi

  1. Danasasmita, Saleh. 1983. Sejarah Bogor. Bogor: Pemerintah Daerah Kotamadya DT II Bogor
  2. Soehoed, Abdoel Raoef. 2002. Banjir Ibukota: Tinjauan Historis dan Pandangan ke Depan.
  3. Wallace, Alfred Russel. 1869. The Malay Archipelago.
  4. "Kontroversi Letusan Gunung Salak Tahun 1699" tirto,id oleh: Iswara N Raditya Editor: Windu Jusuf. Diakses 21 September 2019.
  5. "Gunung Salak Tidak Meletus Tahun 1699" pikiran-rakyat.com oleh: T Bachtiar, 27 Jan 2018. Diakses 21 September 2019.
  6. Hystoriana.blogspot.com
  7. "Gunung Salak - Data Dasar Gunung Api Indonesia" 2 Januari 2012, Badan Geologi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral RI - esdm.go.id Diakses 21 September 2019.

BATARI HYANG JANAPATI, RATU GALUNGGUNG

By Deden Heryana

Sejak zaman Sang Jatmika atau Rahyang Sempak Waja (Bathara Danghyang Guru) Galunggung telah disebut-sebut dalam Naskah kuno Sunda. Rahyang Sempak Waja adalah salah seorang putra Wretikandayun, pendiri Kerajaan Galuh. Sempak Waja memiliki adik bernama Sang Jantaka, Rahyang Kidul, Rahyang Wanayasa, Resiguru di Denuh dan Jalantara atau Mandiminyak yang kelak melanjutkan kekuasaan ayahnya.


Kerajaan Galunggung telah ada sejak zaman Sempak Waja 670 M sebagai negara agama atau kebataraan. Mulai jaman Batari Hyang, Galunggung mengalami perubahan bentuk, dari kebataraan menjadi kerajaan, yakni pada tahun 1013 Saka atau 1111 Masehi. Nama Batari Hyang namanya abadi dalam sebuah Prasasti bernama Geger Hanjuang.

Lalu, siapa Batari Hyang? Pada awal abad ke-11 M, kerajaan Sunda di bawah kepemimpinan Sri Jayabupati berkuasa tahun 1030 - 1042 M. Ibunya adalah putri asal Sriwjaya, yang masih kerabat Raja Wura Wuri. Di zaman Prabu Detya Maharaja Sri Jayabupati, kerajaan sangat kuat. Ia merupakan raja kerajaan sunda ke-20.

Kisah dimulai dari Sang Maharaja Sanghiyang Ageung wafat pada tahun 1030 Masehi. Sedangkan Dewi Sumbadra, memerintah di Kerajaan Galuh, sampai tahun 1065 Masehi. Setelah Sang Maharaja Sanghiyang Ageung wafat, penggantinya adalah Sri Jayabhupati, dengan nama lain Prabu Ditya Maharaja. Gelar panjang Sri Jayabhupati Maharaja: Jayabhupati Jaya Manahen Wisnumurti Samarawijaya-calakabhuana-mandalecwaranindita Harogowardhana wikramottunggadewa. Gelar corak Keraton Jawa Timur itu, adalah hadiah perkawinan dari mertuanya, Sri Dharmawangsa Teguh. Hadiah nama gelar semacam itu, diterima pula oleh Prabu Airlangga, menantu Sri Darmawangsa Teguh lainnya, dan digunakan sebagai gelar resmi, setelah Prabu Airlangga menjadi raja.

Prasasti Geger Hanjuang. Foto: Soekapura.or.id


Sebagai pengganti Sri Jayabhupati, adalah Sang Darmaraja, dengan nama nobat: Prabu Darmaraja Jayamanahen Wisnumurtti Sakalasundabuana. Memerintah sejak 1042-1065 M. Ketika mengawali masa pemerintahannya, terjadi pemberontakan yang dipimpin oleh Sang Wikramajaya, Panglima Angkatan Laut (Sarwajala) Kerajaan Sunda. Sang Wikramajaya, berusaha merebut kekuasaan, dari tangan saudara seayahnya. Akan tetapi, pemberontakannya dapat ditumpas, kemudian ia meloloskan diri ke Kerajaan Sriwijaya. Untuk jabatan Panglima Angkatan Laut (Sarwajala), ditunjuk Sang Wirakusuma, atas jasa kesetiaannya kepada Maharaja Darmaraja.

Dari pernikahannya dengan Dewi Surastri, Sang Maharaja Darmaraja beputera beberapa orang, tiga di antaranya ialah:
  1. Prabu Langlangbumi, putera mahkota calon pengganti ayahnya;
  2. Darmanagara, menjadi Mangkubumi kerajaan; dan
  3. Wirayuda, menjadi Panglima Angkatan Perang.
Setelah prabu Maharaja Darmaraja mangkat, kekuasaan dilanjutkan oleh Prabu langlangbumi yang berkuasa dari tahun 1065-1155 M. Dalam Naskah Carita Parahiyangan  disebut “Sang Mokteng Winduraja -  Nu Hilang di Winduraja”, yang menjadi raja sunda  selama 23 tahun.

Salah seorang putera Sri Jayabhupati dari istrinya yang lain bernama Dewi Pertiwi, adalah Sang Resiguru Batara Hiyang Purnawijaya. la berputera beberapa orang, dua di anataranya ialah:
  1. Dewi Puspawati; dan
  2. Dewi Citrawati.
Dewi Puspawati dipersiteri oleh Prabu Langlangbumi, sedangkan Dewi Citrawati juga mengharapkan menjadi isteri Prabu Langlangbumi. Oleh karena itu, timbul hasrat Dewi Citrawati untuk membunuh kakaknya, puspawati.

Melihat adanya perselisihan di antara kedua puterinya, Sang Purnawijaya segera bertindak, mengawinkan Dewi Citrawati kepada Resiguru Sudakarenawisesa, penguasa Kerajaan Galunggung. Akan tetapi, setelah perkawinannya dengan Dewi Citrawati, Sang Resiguru Sudakarenawisesa menyerahkan tahtanya kepada isterinya. Sang Resiguru Sudakarenawisesa memilih jalan hidupnya mertdalami keagamaan.

Di pedesaan antara wilayah Galuh, Sunda, dan Galunggung, tingkat keamanannya menjadi rawan, akibat ulah kawanan perampok. Kerawanan tersebut menyebabkan perselisihan, antara Prabu Langlangbumi dengan penguasa Galunggung, yaitu Dewi Citrawati, yang nama nobatnya Batari Hyang Janapati.

Selama memegang kekuasaan di Galunggung, Sang Ratu Batari Hiyang merasa cemas, akan kemungkinan serangan dari Kerajaan Sunda, karena dendam dirinya kepada Prabu Langlangbumi tak pernah padam. Untuk mencegah kemungkinan tersebut, Ratu Batari Hiyang, membentuk angkatan perang, membangun parit pertahanan yang kuat (nyusuk). Kemudian, Galunggung, dijadikan sebagal ibukota Kerajaan Galuh. Selesai membangun ibukota yang baru, Sang Ratu Batari Hyang membuat prasasti, yang kemudian dikenal sebagai Prasasti Geger Hanjuang.

Sebenarnya, Sang Maharaja Langlangbumi, tidak ada niat untuk menyerang Kerajaan Galunggung. Akan tetapi, kalau tidak segera diatasi, akan jadi duri dalam daging. la pun tidak menghendaki, timbulnya perpecahan, di antara keturunan Sri Jayabhupati.

Tindakan Sang Maharaja Langlangbumi untuk "menjinakan" Batari Hyang, dengan cara mengadakan pendekatan, melalui Batara Hyang Purnawijaya (ayahnya Batari Hyang), bersama Panglima Suryanagara (pamannya Sang Maharaja Langlangbumi). Kemudian ditempuh jalan damai, yang dihadiri oleh kedua belah pihak. Perundingan jalan damai tersebut dihadiri oleh: Batara Guru Hiyang Purnawijaya, Senapati Suryanagara, Resiguru Sudakarena, Dahiyang Guru Darmayasa, Senapati Kusumajaya, Maharaja Langlangbumi, Mangkubumi Darmanagara, Senapati Wirayuda, Yuwaraja Menak Luhur, Permaisuri Maharaja Langlangbumi Puspawati (kakak Batarai Hiyang), dan Batari Hiyang Janapati Ratu Galunggung (Dewi Citrawati), serta beberapa raja dari daerah bawahan Kerajaan Sunda dan Galuh.

Hasil perundingan jalan damai akhirnya membuahkan kesepakatan, dengan membagi wilayah kekuasaan:
  1. Sebelah barat sebagai Kerajaan Sunda, di bawah kekuasaan Prabu Langlangbumi.
  2. Sebelah timur sebagai Kerajaan Galuh, di bawah kekuasaan Ratu Batari Hiyang Janapati, dengan ibukotanya di Galunggung. 
Rupanya perjanian ini mengulangi lagi peristiwa perdamaian pasca perang saudara antara Sanjaya, Sang Banga dan Ciung Wanara. Nama Batari Hiyang diabadikan dalam Naskah rajya-rajya i bhumi Jawadwipa. Bhatari Hyang Janawati (1033-1074) S/ (1111/2-1152/3) M sebagai ratu Galuh dengan ibukota Galunggung.

Dari pernikahannya dengan Dewi Puspawati, Prabu Langlangbumi berputera beberapa orang, dua di antaranya:
  1. Rakeyan Jayagiri atau Prabu Menakluhur; dan
  2. Sang Cakranagara, menjadi Mangkubumi.
Prasasti Geger Hanjuang, merupakan sumber otentik adanya Kerajaan Galunggung. Prasasti tersebut ditemukan di bukit Geger Hanjuang, Desa Linggawangi, Kecamatan Leuwisari, Kabupaten Tasikmalaya yang termasuk area Gunung Galunggung. Di daerah tersebut, selain prasasti, dulu juga ditemukan banyak benda-benda peninggalan sejarah, seperti patung ganesha, tembikar (cepuk, pendil), batu lingga, serta benda-benda lainnya. Beberapa berhasil diselamatkan, tapi sebagian besar hanya ditemukan kepingan atau bagian-bagiannya yang hancur, baik oleh alam, maupun dihancurkan oleh orang-orang yang tak mengerti sejarah.

Prasasti Geger Hanjuang berukuran tinggi lebih kurang 80 cm, dan lebar lk. 60 cm, ditemukan oleh K.F. Holle, kemudian oleh Dr N.J. Krom disimpan di museum pusat Jakarta, tahun 1914. Inventaris No. D. 26. Prasasti ini pernah dibahas dan diteliti oleh K.F. Holle (1877), C.M. Pleyte (1911), dan Saleh Danasasmita dkk (1978).

Prasasti ini berisi tiga baris tulisan dalam aksara Sunda kuno. Dilihat dari bentuk aksaranya, para ahli sejarah menganggap aksara pada prasasti Geger Hanjuang lebih tua dari aksara yang terdapat pada Prasasti Kawali. Teksnya berbunyi:
 tra ba i guna apuy nasta gomati sakakala ru matak disusu(k) ku batari hyang pun.
Artinya: (pada tahun) 1033 (Saka) (ibukota) Ruma(n)tak diperkuat (pertahanannya) oleh Batari Hyang.

Batari Hyang memperkuat benteng pertahanan di ibukota Kerajaan Galunggung, yaitu Rumantak, yang dilakukan pada tahun 1033 Saka atau 1111 Masehi. Memperkuat pertahanan tersebut dengan cara membuat parit (nyusuk atau marigi). Peristiwa nyusuk ini juga diberitakan dalam naskah Amanat Galunggung yang berbunyi: Rahyang nyusuk na Pakwan. Kemudian dalam prasasti Kawali disebutkan Prabu Raja Wastu marigi sakuriling dayeuh Kawali. Dalam prasasti Batutulis, disebutkan Sri Baduga Maharaja nyusuk na pakwan. Kalimat tersebut dalam naskah Nagara Kertabumi diartikan amagehing (memperkokoh) Pakwan.

Artinya, peristiwa nyusuk atau membuat perigi ini dilakukan oleh para penguasa kerajaan di tatar Sunda, untuk memperkuat pertahanan, sebagai tindakan preventif yang wajar dilakukan pada masa itu, terlepas dari ada atau tidaknya ancaman pada kerajaan. Membuat parit atau perigi dilakukan juga sebagai tanda adanya pemerintahan yang baru, setelah penobatan raja dilakukan. Bukan tidak mungkin, setiap raja melakukan hal yang sama, dan raja berikutnya yang baru dinobatkan membuat atau memperbaiki perigi yang sudah ada, karena perigi lama dianggap sudah tak memadai atau dangkal. Seperti halnya dilakukan oleh Sri Baduga pada tahun 1482. Pakuan yang sudah disusuk oleh Rakeyan Banga pada tahun 739, disusuk kembali oleh Sri Baduga, karena keadaan kota Pakuan sudah jauh lebih luas dari batas parit semula.

Melihat isi dari prasasti Geger Hanjuang, ada dua hal utama yang menjadi isi teks prasasti tersebut. Yakni, Rumantak  sebagai ibukota kerajaan, serta Batari Hyang sebagai penguasanya. Sebelum Galunggung menjadi kerajaan pada masa Batari Hyang, bisa dipastikan bahwa Rumantak adalah juga pusat dari kabuyutan Galunggung. Di sanalah para batara atau rajaresi memimpin kabuyutannya, serta menerima tetamu agung dari kerajaan seperti Galuh. Bahkan bukan tidak mungkin, di Rumantak pulalah para rajaresi yang wafat diupacarakan.

Batari Hyang Janapati, tentu saja adalah seorang perempuan, dan dalam perjalanan sejarah masa lampau di tatar Sunda, dialah satu-satunya perempuan yang memimpin kerajaan dan namanya diabadikan pada sebuah prasasti. Hal ini menjadi sebuah catatan penting dari puncak pencapaian seorang perempuan di tengah hirarki kekuasaan yang berlangsung selama berabad-abad di tatar Sunda.

Referensi

  1. Serbasejarah.wordpress.com. Sejarah Kerajaan-Kerajaan Di Tatar Sunda: Kumpulan Tulisan Pengeran Wangsakerta. Doc file
  2. Muhajir Salam, dkk. "Galunggung sebagai Kerajaan". Soekapoera.or.id
  3. Suryani, Elis. 2017. Batari Hyang Janapati dalam Perspektif Gender. Jentera: Jurnal Kajian Sastra. 6 (2), 164-180. Jentera: Jurnal Kajian Sastra, 2017, Volume 6, Nomor 2 tahun 2017. researchgate.net Diakses 8 September 2019.
  4. Atja,  dan  Saleh    Danasasmita.  1981. Carita    ParaHyangan    (Transkripsi,   Terjemahan,  dan  Catatan.  Bandung: Proyek  Pengembangan  Permuseuman Jawa Barat.  
  5. Ayatrohaedi.  1981.  “Peranan  Benda Purbakala  dalam  Historiografi Tradisional” dalam  Majalah  Ilmu-Ilmu Sastra  Indonesia,  Penelitian  dan Penerbitan  Buku/Majalah Pengetahuan  Umum  dan Profesi  Dep. Dik.  Bud.  Jakarta:  Fakultas  Sastra Universitas Indonesia.  
  6. Danasasmita,  Saleh.  Ya Nu  Nyusuk  na Pakwan  .Bandung:  Lembaga Kebudayaan  Unpad.  Danasasmita, Saleh, dkk. (1987). Sewaka Darma,  Sanghyang  Siksakandang Karesian,  Amanat  Galunggung. Transkripsi  dan  Terjemahan.  Bandung: Bagian Proyek Sundanologi.
  7. Suryani  NS,  Elis.  (2016).  Srikandi Indonesia.  Bandung:  Opini  Pikiran Rakyat
  8. Ekadjati,  Edi  Suhardi.    (2006).  Nu Maranggung  Dina  Sajarah  Sunda. Bandung: Pusat Studi Sunda.
  9. Seri  Sundalana  5.  (2006).  Mencari Gerbang  Pakuan  dan  Kajian  Lainnya mengenai  Budaya  Sunda.  Bandung: Pusat Studi Sunda.  
  10. Sunardjo,  Unang,  dkk.  (1978).  (Tim Penyusun).  Hari  Jadi  Tasikmalaya. Tasikmalaya: Pemerintah Daerah TK. II Tasikmalaya.

MENGENAL AGEMAN SUNDA PURBA PRASEJARAH

By Deden Heryana

DI Jawa Barat aliran kepercayaan yang paling dikenal adalah SundaWiwitan atau agama Jati Sunda. Sunda Wiwitan yang disebarkan oleh Madrais di Cigugur Kuningan disebut-sebut sebagai cikal bakal Sunda Wiwitan. Awalnya Madrais (Kyai Madrais) menyebutnya Agama Djawa Soenda. Madrais bukanlah pencipta ajaran ini, namun ia menggali kembali kepercayaan kuno.

Benarkah Agama Jati Sunda yang sering disebut dalam beberapa Naskah Kuno Lontar adalah sama dengan Sunda Wiwitan? Bagaimana pula dengan Aliran sunda buhun? 

Mari kita kupas secara lengkap. Menurut etimologi bahasa, kata Sunda Wiwitan berasal dari kata Sunda dan Wiwitan. Sunda mengacu pada masyarakat yang mendiami wilayah kerajaan Sunda-Galu yang terbentang dari Banten hingga Brebes di Jawa Tengah. Saat itu Sunda tidak saja mengacu pada etnis namun juga sebuah ajaran atau Pikukuh. Wiwitan berarti mula-mula. Dengan demikian Sunda Wiwitan adalah Sunda mula-mula. Bila ditambahkan ajaran atau Pikukuh Sunda Wiwitan berarti ajaran Sunda mula-mula (awal mula). Sementara itu, Sunda Buhun adalah Sunda Kuno. Dengan demikian dianggap seperti setara dengan Sunda Wiwitan. Sunda Buhun lebih jauh lagi sebelum adanya kerajaan Sunda-Galuh dan Pajajaran. Ketika Masa Pemerintahan Kerajaan Tarumanagara, telah disebutkan bahwa hanya pihak kerajaan saja yang menganut agama Hindu, Sementara rakyat masih ngagem  (menganut) ajaran leluhurnya. Mungkin ini yang di sebut Sunda Buhun atau barangkali ajaran tersebut tidak diberi label nama tertentu. Ajaran yang dianut rakyat Salakanagara (pendahulu Tarumanagara) yaitu tahun 150-an Masehi telah menganut agama/ kepercayaan yang dipimpin oleh Aki Tirem.

Namun demikian, ada faktor yang lebih mendalam yang membedakan keduanya. Bila kita sama-sama belajar mencermati ajar pikukuh Sunda Wiwitan yang eksis sekarang ini berbeda dengan Sunda Buhun.

Keyakinan kepercayaan Urang Kanekes (Baduy) lebih mendekati Sunda Wiwitan yang berarti mula, pertama, asal, pokok, jati. Agama yang dianut oleh orang Kanékés ialah agama Sunda asli. Menurut Carita Parahiyangan adalah agama Jatisunda. Seacara umum masyarakat awam terhitung sedikit mengetahui ajaran jati Sunda karena orang Kanékés cenderung tertutup membicarakan kepercayaannya.

Jika isi agama Sunda Wiwitan dideskripsikan, tampak keyakinan kepada kekuasaan tertinggi pada Sang Hiyang Keresa (Yang Maha Kuasa) atau Nu Ngersakeun (Yang Menghendaki). Disebut pula Batara Tunggal (Tuhan Yang Maha Esa), Batara Jagat (Penguasa Alam), dan Batara Seda Niskala (Yang Gaib), yang bersemayam di Buana Nyungcung. Semua dewa dalam konsep agama Hindu (Brahma, Wisnu, Syiwa, Indra, Yama, dan lain-lain) tunduk kepada Batara Séda Niskala.

Dalam mitologi orang Kanékés, ada tiga macam alam: 
(1) Buana Nyungcung, tempat bersemayam Sang Hiyang Keresa, yang letaknya paling atas; 
(2) Buana Panca Tengah, tempat manusia dan makhluk lain berdiam; dan 
(3) Buana Larang, yaitu neraka yang letaknya paling bawah.

Antara Buana Nyungcung dan Buana Panca Tengah terdapat 18 lapisan alam, tersusun dari atas ke bawah. Lapisan teratas bernama Bumi Suci Alam Padang atau menurut kropak 630 bernama Alam Kahiyangan atau Mandala Hiyang. Lapisan alam ini tempat tinggal Nyi Pohaci Sanghiyang Asri dan Sunan Ambu.

Sunda Wiwitan dan Sunda Buhun

Bila kita cermati kedua aliran kepercayaan Sunda, yaitu Sunda Wiwitan dan sunda buhun keduanya dapat dipersamakan. Titik temu keduanya adalah adanya Sosok Sunan Ambu. Ibu keilahian adalah Sunan Ambu. Sosok Dewi (perempuan) sebagai penguasan alam semesta adalah ajaran Pra-Sejarah. Namun dalam perkembangan berikutnya dalam berbagai turunan aliran kepercayaan Sunda Wiwitan sering mengabaikan sosok Sunan Ambu. Tergantikan dengan berbagai Sanghyang dan ada juga turunan aliran kepercayaan ini yang lebih tertuju Siliwangi. Tentu ini adalah hal lebih baru lagi.

Sunda sebagai entitas etnis memeliki sikap handap asor. Jiwa yang saling menghargai dan menghormati. Silih asah, Silih asih, Silih asuh. Perbedaan cara pandang tersebut tidak membuatnya saling menyalahkan. Dalam kosmologi dan konsepsi aliran kepercayaan Urang Sunda tak mengenal istilah bid'ah, bidat, musyrik, kafir, penghujatan, dan lain sebagainya. Tidak ada penghakiman urang Sunda terhadap keyakinan Sunda lainnya. Anggapan bahwa Urang mah hurip jeung hirupna geus aya nu ngersakeun

Pandangan hidup Urang Sunda adalah memberi manfaat bagi orang lain. Isitlah dalam Kitab Sanghyang Siksakandang Karesian adalah tapa di nagara. Tapa diartikan Dharma dalam bahasa agama Budha, artinya berbakti. Jadi Tapa ka Nagara adalah berbakti pada negara.

Kitab Suci Sunda
Cara pandang keagamaan berbeda satu sama lain. Demikian pula jika membuat aturan klasifikasi agama juga sangat berbeda. Ada pandangan bahwa agama haruslah ada Nabinya, kitabnya dan syarat-syarat lainnya. Kontroversi ini di kalangan para ahli teologi belum berakhir, bahkan hingga hari ini. Silahkan ada bisa searching klasifikasi agama dari berbagai pandangan para ahli.

Bagi urang Sunda yang lebih mengedepankan isi daripada baju dan seabreg kosmetika luaran. Alih-alih memperebutkan kebenaran, bagi Urang Sunda adalah menjalani hidup secara benar. Ukuran benar dan salah secar common sense juga dapat dipahami. Misalnya, mencuri, mabuk, membunuh dan memperkosa adalah perbuatan hina. Rasa dan bathin yang memberikan penilaian atas perilaku tersebut.

Beberapa naskah kuno Sunda (NSK) yang memberikan ajaran didaktis banyak yang dijadikan pedoman berperilaku bagi urang Sunda. Sebut saja Kita Sanghyang Siksa Kanda ng Karesian. Kitab ajaran didaktis tersebut lebih mirip disebut sebagai KUHP daripada sebagai kitab suci. Jauh lebih mendalam bila kita memahami Kitab Sewaka Darma dan Siksa Guru. Istilah Siksa bermakna "ajaran". 

Kitab-kitab tersebut bahkan tidak membubuhkan siapa penulisnya. Yang tertera hanyalah tanggal atau tahun penulisannya. Ini menunjukan bahwa kitab tersebut milik umum (masyarakat) dan bukan karya atau hasil pemikiran penulisnya. Penulis (biasanya seorang Pandita/ Guru Resi) tidak mengklaim tulisan tersebut sebagai miliknya. Keberadaan suatu naskah keagamaan yang tahun penulisannya tercantum, tidak menunjukkan bahwa ajaran tersebut baru ada saat naskah ditulis, melainkan hanya menulis ulang (copy-an). Contohnya Naskah Sanghyang Siksa Kanda ng Karesian terdapat 2 naskah yang kini tersimpan di Perpustakaan nasional republik Indonesia (PNRI). Pertama naskah daun lontar dengan kode L-624 dan naskah daun Nipah dengan kode L-630. Keduanya berisi ajaran dan narasi yang sama. perbedaannya, selain media tulis adalah jenis aksaranya. Dengan demikian kedua naskah hanyalah sebuah copy dari ajaran yag telah lama dilaksanakan urang Sunda jauh sebelumnya.

Ikutlilah ajaran dalam kitab ini. Jika hidupnya lebih kreta (makmur), jiwamu lebih tingtrim (tentram) dan lebih penyayang terhadap sesama adalah bukti kebenaran. Namun bukan berarti menunjukkan bahwa kitab ini benar, sekali lagi bukan kitab ini yang benar. Tetapi Tuhan lah yang benar. Sanghyang Kersa lah yang mengajarkan kebenaran itu untukmu. Kamu bakal heubeul hirup (berumur panjang).

Rabu, 30 Oktober 2019

ISI NASKAH RATU PAKUAN

By Deden Heryana


Ini Carita Ratu Pakuan, ti gunung Ku(m)bang.
Inilah Kisah Ratu Pakuan, dari gunung Kumbang.

Gunu(ng) Giri Maya Séda, patapaan Pwahaci Mangbang Siyang, nitis ka Rucita Wangi, ahis tuhan Jayasasti, seuweu pa[h]tih Sang Atus Wangi. 
Gunung Giri Maya Séda, pertapaan Pohaci Mambang Siyang, menitis kepada Rucita Wangi, adik tuan Jayasasti, putera patih Sang Atus Wangi.

Mu(n)ding Cina pulang dagang, basa pulang ti Lamajang, 
Kerbau Cina pulang berdagang, ketika kembali dari Lamajang,

sakelél miduwa basa, nu beu(ng)har di Pa-/béyan.  
terampil bicara dua bahasa, yang kaya di Pabean.

Gunung Tara Maya Séda, bukit si Panglipur Manik, patapaan Pwahaci Mangbang Siyang, 
Gunung Tara Maya Séda, bukit si Panglipur Manik, pertapaan Pohaci Mangbang Siyang,

nitis ka Manik Déwata, ka Sang Raja Angsa, ahis Ratu Premana, tuhan1Paksajati, seuweuna Serepong Wangi, nu beu(ng)har di Taalwangi. 
menitis kepada Manik Dewata, kepada Sang Raja Angsa, adik Ratu Premana, tuan Paksajati, putranya Serepong Wangi, yang kaya di Taalwangi.
1tuah

Gunung Cupu Bukit Tamporasih/, patapaan Pwahaci Niwarti, nu2 nitis ka Taambo Agu(ng), nu leuwih kasih, ahis tuhan Rahmacuté, seuweu pa[h]tih Prebu Wangi Serepong. Sira Punara Putih, ti Sumedanglarang. 
Gunung Cupu Bukit Tamporasih, pertapaan Pohaci Niwarti, yang menitis kepada Taambo Agung, yang penuh kasih sayang, adik tuan Rahmacute, anak patih Prebu Wangi Serepong. Dialah Punara Putih, dari Sumedanglarang.
2ni

Gunung Cupu Bukit Tanporasih, ma(n)dala Tanpo Waha[n}nan, sri gina bukit/ Manghening, Pata(n)jala pané(n)joan. 
Gunung Cupu Bukit Tanporasih, mandala Tanpo Wahanan sri gina bukit Manghening, Patanjala tempat memandang.

Gunung si Purnawijaya, peupeuntaseun3 Sang[i]hiyang Li(ng)gamanik, 
Gunung si Purnawijaya, berseberangan dengan Sanghiyang Linggamanik,
3peupeutasseun

di Sa(ng)hiyang Wi(n)dupatala, nu ayeuna4 gunung Lé(ng)gang, patapaan Pwahaci Maniréka, nitis ka Subanglarangan, ahisna Jayapremana, seuweu jero Kuning[ng]an, ma(ng)ku-/bumi Singapura, nu beu(ng)har di Sumurwangi.
di Sanghiyang Windupatala, yang kini disebut gunung Lenggang, pertapaan Pohaci Manireka, menitis kepada Subanglarangan, adiknya Jayapremana, putera mahkota Kuningan, mangkubumi Singapura, yang kaya di Sumurwangi.
4ngeuyeuna

Gunung Cupu Bukit Tanporasih, ma(n)dala Tanpo5 Wahanan, 
Gunung Cupu Bukit Tanporasih, mandala Tanpo Wahanan,
5tahpo

sri gina bukit Manghening, ma(n)dala Téjapatala, patapaan Hinten6 Mana(ng)gay, nitis ka Marajalarang, ahisna Tajimaléla Panji Roma-/hiyang,7 seuweuna Demung Tabela Panji Ronajaya, dayeuh[h]an di Singapura.
sri gina bukit Manghening, mandala Tejapatala, pertapaan Hinten Mananggay, menitis kepada Marajalarang, adiknya Tajimalela Panji Romahiyang, puteranya Demung Tabela Panji Ronajaya, bertempat tinggal di Singapura.
6miten
7robahiyang

Gunung Lé(ng)gang Ma(n)dala Hérang, bukit si Panglipur Manik, ma(n)dala Tanpo Wahanan, 
Gunung Lenggang Mandala Herang, bukit si Panglipur Manik, mandala Tanpo Wahanan,

sri gina bukit Manghening, Pata(n)jala pané(n)joan, peu(n)taseu(n) Sa(ng)hiyang Goan. 
sri gina bukit Manghening, Patanjala tempat memandang, berseberangan dengan Sanghiyang Goan.

Gunung si Purnawija-/ya, lume(ng)gang larang sorangan, 
Gunung si Purnawijaya, terpencil suci sendiri,

di Sanghiya(ng) keusik manik batu mirah, hanjuang dikembang homas, patapaan Raga Pwa(h) Hérang Manik, nitis ka nu geulis Rajamantri, nu geulis palang ngajadi, nu micaya sisit8 peuting, ca(ng)kang beurang kale/ hésé, panonpoé9 miawak séda karuna, ahis tuhan Su(n)ten Agung, sang Raja Gunung, seuweuna juru labuan, dayeuh[h]an di Pagulingan, ma(ng)kubumi di Sumedanglarang, ngapwah[h]an mohéta bedas, nu ngirutan Acidéwata./
di Sanghiyang pasir permata batu mirah, pohon hanjuang berbunga emas, pertapaan Raga Pwah Herang Manik, menitis kepada si cantik Rajamantri, yang cantik tiada tanding, yang menyinari sisik kegelapan malam, kulit siang tanpa susah, matahari menjelma suci karunia, adik tuan Sunten Agung, sang Raja Gunung, puteranya juru pelabuhan, bertempat tinggal di Pagulingan, mangkubumi di Sumedanglarang, menakjubkan luar biasa, yang mempesonakan Acidewata.
8sisis
9panongpohé

Gunung Guruh Bukit Sri Prebakti, salaka Sanghiyang10 Nusa, di susuku gunung Ku(m)bang, 
Gunung Guruh Bukit Sri Prebakti, salaka Sanghiyang Nusa, di kaki gunung Kumbang,
10sangngihiya

bukit si Salaka Mirah, ma(n)dala Sri Kapu(n)dutan, 
bukit si Salaka Mirah, mandala Sri Kapundutan,

di Sanghiya(ng) Salal Ading, nu mepek na bumi manik, patapaan Bagawat Sang Jalajala, susulan watek dé-/wata, murba ka bumi Pakuan.
di Sanghiyang Salal Ading, yang berkumpul dalam bangunan permata, pertapaan Bagawat Sang Jalajala, undangan bisikan gaib dewata, berkuasa ke tanah Pakuan.

Gunung Pagu Ma(n)dala Ku(m)paybwana, patapaan Batara Tu(ng)gal, nu nitis ka Su(n)ten Agung, ngapu[g]han mohéta bedas, maha[n]nan di gunung Ku(m)bang. 
Gunung Pagu Mandala Kumpaybuana, pertapaan Batara Tunggal, yang menitis kepada Sunten Agung, menakjubkan luar biasa, bertempat tinggal di gunung Kumbang.

Gunung Gorak Mandala Terus Patala, patapaan Batara Jaya Hérang, nu nitis ka Amuk Murugul, Sang Mantri Agung Mereja, sang mantri jaya, seuweu tuwan Lapung Jabul, 
Gunung Gorak Mandala Terus Patala, pertapaan Batara Jaya Herang, yang menitis kepada Amuk Murugul, Sang Menteri Agung Mereja, sang menteri gagah perkasa, putera tuan Lapung Jabul,

kidang sawakul patimuhan, ti nu geulis sang titi, sang geulis wangi, ngapu[h]han mohéta bedas. 
kijang sekeranjang patimuhan, dari yang cantik sempurna, yang cantik harum mewangi, menakjubkan luar biasa.

ujuh Sanghiyang11 Mahut Putih, nu mu(ng)guh di ha(n)-/daru, 
Tujuh Sanghiyang Mahut Putih, yang bersemayan di halilintar,
11sangngihiya

deu(ng) Sanghiyang12 Li(ng)gamani(k), deu(ng) Sanghiyang13 Hindit-hinditan, nu mu(ng)guh di siki panon, 
kemudian Sanghiyang Linggamanik, dan Sanghiyang Hindit-hinditan, yang menetap di biji mata,
12sangngihiya
13sangngihiya

deu(ng) Sanghiyang14 Karang Curi, nu mu(ng)guh tu(m)pak di hu(n)tu, deu(ng) Sanghiyang15 Cadas Gumantu(ng), nu mu(ng)guh di tungtung létah, deu(ng) Sanghiyang16Cadas Putih Gumalasar, nu mu(ng)guh di ha-/rigu, deu(ng) Sanghiyang17 Adong Agung, sagedé munding saadi, nu mu(ng)guh di tulang tonggong, deu(ng) Sanghiyang18Bitung Wulung, patét ka langit, nu mu(ng)guh tu(m)pak di siki éta, reujeungna ngajadi. 
kemudian Sanghiyang Karang Curi, yang menetap tunggang pada gigi, lalu Sanghiyang Cadas Gumantung, yang menetap di ujung lidah, kemudian Sanghiyang Cadas Putih Gumalasar, yang menetap di dada, kemudian Sanghiyang Adong Agung, sebesar anak kerbau sesusu, yang menetap pada tulang punggung, lalu Sanghiyang bambu wulung, menjulang ke langit, yang menetap tunggang pada biji itu (zakar), bersamanya menjelma.
14sangngihiya
15sangngihiya
16sangngihiya
17sangngihiya
18sangngihiya

Gunung Paguh Mandala Hibar Bwana, patapaan Batara Wisnu Déwa, niti-/s ka Tajimaléla Panji Romahiya.19
Gunung Paguh Mandala Hibar Buana, pertapaan Batara Wisnu Dewa, menitis kepada Tajimalela Panji Romahiyang.
19Paji Robahiyang

Gunung Paguh Mandala Léka Datar, patapaan Batara Wi(s)nu Jati, 
Gunung Paguh Mandala Leka Datar, pertapaan Batara Wisnu Jati,

Gunung Jajar Sri Lé(ng)gang, patapaan Batara Buyut Sang Hérang, nitis ka Rahmacuté. 
Gunung Jajar Sri Lenggang, pertapaan Batara Buyut Sang Herang menitis kepada Rahmacuté.

Gunung Tilu Ma(n)dala Lékamaya, patapaan Ba-/tara Wisnu, nitis ka Jayasakti.
Gunung Tilu Mandala Lekamaya, pertapaan Batara Wisnu, menitis kepada Jayasakti.

Gunung Manik Ma(n)dala Sri Nata Lé(ng)gang, patapaan Batara Wisnu Wisésa, nitis ka Jaya Premana, halayna ha(n)teu kabita, ku nu geulis tus tu dilaki. 
Gunung Manik Mandala Sri Nata Lenggang, pertapaan Batara Wisnu Wisesa, menitis kepada Jaya Premana, berahinya tidak tertarik, oleh yang cantik tapi tak bersuami.

Dicarita Ngabetkasih, kadeungeu(n)/ sakamaruhan, bur payung agung ngawah tugu, nu sa(h)ur manuk sabda tu(ng)gal, nu dé(k) mulih ka Pakuan. Sau(n)dur ti dalem20timur, kadaton wétan buru[h]an, si Mahut Puti(h) gedé manik, Maya Datar ngarana. 
Tersebutlah Ngabetkasih, diiring sanak keluarga, mengembanglah payung kebesaran ngawah tugu, orang-orang sepakat pada merestui, yang hendak kembali ke Pakuan. Sekepergiannya dari istana timur, pelataran keraton timur, si Mahut Putih sebesar permata, Maya Datar namanya.
20daleh

Suniyalaya ngarana, dalem21 Sri Ka(n)cana Manik/, bumi ri(ng)git cipta22 ririyak, di Sanghiya(ng) Pa(n)dan Larang, dalem23 si Pawindu Hurip. 
Sunialaya namanya, istana Sri Kancana Manik, rumah berukir dibuat gemerlapan, di Sanghiyang Pandan Larang, istana si Pawindu Hurip.
21daleh
22capta
23daleh

Bumi hiji beunang ngukir, kadua beunang ngaréka, katiluna bumi bubut, kaopatna limas kumureb, kalimana badawa(ng) sarat, kagenepna bumi tepep/, katujuhna hanjung méru, kadalapan tu(m)pang sanga, kasalapan pagencayan,24 
Rumah pertama yang penuh ukiran,
yang kedua penuh hiasan,
yang ketiga rumah dibentuk halus,
yang keempat berbentuk limas kumureb,
yang kelima tembus jagat pandang,
yang keenam rumah tepep,
yang ketujuh anjungan meru,
yang kedelapan berumpak sembilan,
yang kesembilan berkilauan,
24pagecayyan

Anjung25 pagerit deu(ng) ré(ng)kéng, ré(ng)kéng (pa)gerit deu(ng) a(n)jung, ngarana dalem kalangsu. 
anjungan bergeret dengan bale-bale, bale-bale bergeret dengan anjungan, namanya istana kalangsu.
25ahju

Bumi manik kamaricik, ngarana Ganggang Hotapih. 
Rumah permata gemerincing, namanya Ganggang Hotapih.

Bumi ricik di Sanghiya(ng) Sumurba(n)dung, dina gelar pametonan, katonan/ pa(n)to ra(n)jang,
Rumah gemersik di Sanghiyang Sumurbandung, saat digelar pertunjukkan, terlihat pintu pelaminan,

di Sanghiya(ng) Wano Datar, malang na tuah paséban, balé bubut balé mangu, balé watangan balé tulis, laména di balé si Tanpa Wahanan, pamoha pangulah tenah. 
pada Sanghiyang Wano Datar, melintang pada sandaran paseban, balai bubut balai mangu, balai berbingkai balai lukisan, tepiannya pada balai si Tanpa Wahanan, penyebab bingung perbuatan berbekas.

Saha nu angkat ti heula, tan liyan girang na(ng)ganan, nu/ na(ng)ganan para putri nu geulis. Na Ceput Agung na Bang Jaya, kandegan Ke(n)tri(ng)manik Maya(ng)su(n)da.
Siapa yang berangkat duluan, tiada lain juru tulis, yang mencatat para puteri yang cantik. Baik Ceput Agung maupun Bang Jaya, saudara Kentringmanik Mayangsunda.

Bok Janur Larang Ba(n)cana, ahisna Amu(k) Murugul, sang ma(n)tri Agung Mereja, sang ma(n)tri Jaya, seuweu tuhan Lapung Jabul, 
Nona Janur Larang Bancana, adiknya Amuk Murugul, sang menteri Agung Mereja, sang menteri Jaya, putera tuan Lapung Jabul,

kidang sawakul patimuhan, ti nu geulis sang/ niti, sang geulis wangi. 
kijang sekeranjang pemberian, dari si cantik yang berkuasa, yang cantik semerbak harum.

Bur ti heula ley26 peu(n)deuri, iyuh na hulun susuhunan, baluk karas himbal kakara(ng)gé, bésé jati dipasagi bubuleu(d) emas, tetek taleh salaka, sasaka gading ditapak liman, baaneun ka Pa[k]-/kuan.
Berangkat yang di depan diikuti yang belakang, teduh para hamba yang dipertuan, perahu kecil (berisi) peti penuh sesak, peti kayu jati persegi dilapisi emas, pemotong taleh dari perak, pusaka dari gading berukir gajah, yang akan dibawa ke Pakuan.
26lel

Bur jolian homas, dipu(n)cakan ku camara gadi(ng), dilili(ng)gaan omas, ngarana tan gara(n)tay, 
Berjalanlah kereta kencana, di atasnya dihiasi dengan cemara kemuning, ditiangpancangi emas, namanya tangga berjuntai,

dipu(n)cakan ku mirah, 
di atasnya dihiasi permata batu mirah,

tu(m)pak di karang ma(n)taja, singasari keri kanan, payung wilis lili(ng)ga gading, dipuncakan ku mani(k) molah,
bertumpuk di pekarangan penuh kilauan permata, kursi kerajaan di kiri kanan, payung wilis bertiangkan gading, di atasnya dihiasi dengan permata bergoyang,

payung getas dilili(ng)gaan, dipu(n)cakan homas, deu(ng) payung saberilén, beunang ngagalér ku lu(ng)sir, tapo térong homas keloh. 
payung kebesaran ditiangi, di atasnya dihiasi emas, dengan payung yang dilengkapi berlian, yang dialasi kain sutera, hiasan kepala (mahkota) emas cekung.

Gelewer paraja papan, kikiceup deungeun liliyeuk, deg semut sama dulur, béta-/na tataman27 pi(n)dah.
Berderet para pembesar, saling kedip sambil saling lirik, saling tersenyum sesama saudara, bagaikan semut tataman berpindah.
27tatamam

Bur kadi kuta Sri Manglayang, lumé(ng)gang di awang-awang, juru kendi28 ti peu(n)deuri, juru ka(n)daga ti heula, deu(ng) sawung galing kiwa tengen, di (te)ngah kidang ka(n)cana, saha nu si singa barong. 
Gemerlap bagaikan kota Sri Manglayang, terbang melayang di angkasa, para pembawa gentong dari belakang, para pembawa tempayan logam di depan, dengan pagar ayu di kiri kanan, di tengah barisan berselendang keemasan, bersama dengan yang bertopeng singa.
28kadi

Bur ti heula ley29 peu(n)deuri, sataganan lain30 deui, nu geulis t(a)an Bunga/sari, ahis tuhan Bima Raja, putri ti Lodatar Lu[h]ar, deung nu geulis Sriwati, ahisna Mu(n)di(ng) Dalima, putri ti gunung Kajapu, deung nu geulis Raja Kalapa, ahis tuhan Bima Kalang, putri ti Kalapa Jajar, deu(ng) nu geulis Limur Kasih, ahisna Pa(n)ji Bomapati, putri ti Pasir Batang. 
Maju yang di depan diikuti yang belakang, serombongan berbeda lagi, yang cantik puteri Bungasari, adiknya tuan Bima Raja, puteri dari Lodatar Luar, diikuti yang cantik Sriwati, adiknya Munding Dalima, puteri dari gunung Kajapu, kemudian yang cantik Raja Kalapa, adik tuan Bima Kalang, puteri dari Kalapa Jajar, lalu yang cantik Limur Kasih, adiknya Panji Bomapati, puteri dari Pasir Batang.
29lel
30lahi

Bur nu nurut lakiyan, tujuh[h]an sapilanceukan, Haristacang Haristacu, Hariskeling Harismaya, seuweu parebu di ta(n)jung wétan, nu pupus sapihunung[ng]an, nu hilang ku ketang musuh, ku bajo, pa[h]éh ku Wangi Sagara, deu(ng) nu geu-/lis Déwi31 Samatra, Ratu Larang, ahisna Kebo Tape Pa(n)ji Tagehan Wangi, putri ti ta(n)jung nagara. 
Berangkatlah yang mengantar pengantin puteri, tujuh orang bersaudara, Haristacang, Haristacu, Hariskeling dan Harismaya, anak raja dari semenanjung timur, yang wafat sepemakaman, yang meninggal karena diterjang musuh, oleh bajak laut, dibunuh oleh Wangi Sagara, kemudian yang cantik Dewi Samatra, Ratu Pingitan, adiknya Kebo Tape Panji Tagehan Wangi, puteri dari semenanjung negara.
31déwa

Bur nu nurut lakiyan, Haning Cina sari wangi, sari putri batari, tarahan wang, seuweu Susuhunan Makabo, nu pupus sapihunung[ng]an, 
Berangkatlah yang mengantar pengantin puteri, Haning Cina berbedak harum, bedak puteri batari, tarahan (jadi rebutan) orang, putera Susuhunan Makabo, yang wafat sepemakaman,

deu(ng) nu geu-/lis Maya Pakembangan, nu pupus sapihunung[ng]an, hilang di Karang Si(n)dulang, 
lalu yang cantik Maya Pakembangan, yang wafat sepemakaman, meninggal di Karang Sindulang,

deu(ng) nu geulis Déwi Ba(n)ding, ahisna Mu(n)ding Dilangin, putri ti Kuta Waringin, deu(ng) nu geulis Aci Manglaya, ahisna Kebo Manglaya, putri ti Tungtung Pasang, deu(ng) nu geu-/lis Déwi Raragé, ahis tuhan Kalang Buté, putri ti Nusa Pali. 
kemudian yang cantik Dewi Banding, adiknya Munding Dilangin, puteri dari Kuta Waringin, kemudian yang cantik Aci Manglaya, adiknya Kebo Manglaya, puteri dari Tungtung Pasang, kemudian yang cantik Dewi Rarage, adik tuan Kalang Bute, puteri dari Pulau Pali.

Kabogoh ku na jeneng putri, hapur ke(m)bang hideung santen, maromon kéna na carang, sairung deu(ng) E(m)bo(k) Agung, satarang deu(ng) Raja Angsa sapipi deung Ngambetkasih. 
Terpikat oleh yang namanya tuan Puteri, kurap kembang hitam manis, berbintik-bintik karena jarang, hidungnya mirip dengan Embok Agung, keningnya mirip dengan Raja Angsa, pipinya mirip dengan Ngambetkasih.

Irung kadi pala kurung, panon kadi kaca Cina, bare(n)tik na bulu panon, taktak taraju jawaeun, héjo kélék teu bulu[h]an, ngarana twa si Danuh, pangaweruh réja maru, pangawét diboga salaki, bésal teu dipipawarang, 
Hidung bagaikan buah pala kurung, mata jernih bagaikan kaca Cina, bulu matanya nan lentik pundak bagaikan neraca Jawa, kulit ketiak kehijauan tak berbulu, namanya twa si Danuh, pertanda bagus dimadu, pertanda awet bersuami, sayang bila tak dijadikan permaisuri.

Deung nu geulis, Déwi Raja Kabalahan, a-/hisna Le(m)bu Pepeteng, putri ti Pasuketan. 
Kemudian yang cantik, Dewi Raja Kabalahan, adiknya Lembu Pepeteng, puteri dari Pasuketan.

Bogoh ku na jeneng putri, je(m)but awak ka(m)buy beuteung, para(n)déné digedékeun, da ahis Ka(n)daga Laté. 
Tertarik oleh yang namanya puteri, badan berbulu perut kembung, meskipun dibesarkan karena ia adik Kandaga Late.

Bur ti heula ley32 peu(n)deuri, sataganan lain33 deu[h]i, nu geulis na Tu(n)jung Mangbang Sari, ahisna Ga-/jah Bu(ng)bang, putri ti Pulo Ka(m)bangan, deung nu geulis Déwi Loron Raja Sona, ahisna Kebo Lolorong, putri ti Nusa Donan, deu(ng) nu geulis Riyak Tapa, ahisna Dalung Bang, deung Calung Gi(n)tung, putri ti Tiga Maruyung, deu(ng) nu geulis Déwa Karuna, ahis Kebo Sang Matring Guru, putri ti gunung Kukusan, deu(ng) nu geulis Cepet Manik, nu tarahan na Harisa Keling, ahisna Po(ng)gang Sang Raja Pa(n)ji, putri ti Hulu34 Padang, deu(ng) nu geulis Maya Padang, ahis tuhan patih Pala, putri ti/ nagara Tengah.
Maju yang depan diikuti yang belakang, serombongan lain lagi, yang cantik ialah Tunjung Mambang Sari, adiknya Gajah Bungbang, puteri dari Pulau Kambangan, lalu yang cantik Dewi Loron Raja Sona, adiknya Kebo Lolorong, puteri dari Nusa Donan, kemudian yang cantik Riyak Tapa, adiknya Dalung Bang, bersama Calung Gintung, puteri dari Tiga Maruyung, kemudian yang cantik Dewa Karuna, adik Kebo Sang Matring Guru, puteri dari gunung Kukusan, kemudian yang cantik Cepet Manik, yang diperebutkan Harisa Keling, adiknya Ponggang Sang Raja Panji, puteri dari Hulu Padang, kemudian yang cantik Maya Padang, adik tuan patih Pala, puteri dari negara Tengah.
32lel
33lahi
34hula

Bur ti heula ley35 peu(n)deuri, sataganan la[h]in deu[h]i, putri ti sabrang nagara. Saha nu ngalurahan Mama nu geulis (em)bo(k) Panéwon, ahisna Kebo Gumowong, putri Tiga Gumowong, deu(ng) nu geulis (Em)bo(k)/Manglépa, ahisna Maraja di  Ce(m)pa, deu(ng) nu geulis (Em)bo(k) Lé(ng)gang, ahisna Haji Mangédara, deu(ng) nu geulis (Em)bo(k) Manglibu, ahis Maraja di Baluk, deu(ng) nu geulis (Em)bo(k) Hajani, ahis Maraja di Bali, deu(ng) nu geulis Nareuceun Maya/ Tung Ma(ng)gung Hideung, putri ti Pakalongan, deu(ng) nu geulis Atra Wangi, ahisna Ratu Gubak tuhan Marihak, putri ti Nusa Balangah. 
Berangkat yang di depan diikuti yang belakang, serombongan beda lagi, puteri dari negara seberang. Siapa gerangan yang memimpin? Ibunda yang cantik embok Panewon, adiknya Kebo Gumowong, puteri Tiga Gumowong, kemudian yang cantik Embok Manglepa, adiknya Maraja di Cempa, kemudian yang cantik Embok Lenggang, adiknya Raja Mangedara, lalu yang cantik Embok Manglibu, adik Maraja di Baluk, kemudian yang cantik Embok Hajani, adik Maraja di Bali, kemudian yang cantik Nareuceum Maya Tung Manggung Hideung, puteri dari Pekalongan, kemudian yang cantik Atra Wangi, adiknya Ratu Gubak tuan Marihak, puteri dari Pulau Balangah.
35lel

Bogoh ku na jeneng putri, bu(ng)kul pu(n)duk hidung tuhur sideko sabina kohal, parandéné dige-/dékeun, da ahis Ka(n)daga La(n)té, disawur ku sekar suhun, kangka[ng]kalung deung tapok gelung, siger36 deu(ng) pameu(n)teu(ng) beuheung, kilat bahu ti katuhu, geulang ka(n)cana ti ké(n)ca, gorolong gumebray37 homas ka(n)cana. 
Tertarik oleh yang namanya puteri bungkul pundak hidung mengering, berlutut setinggi kohal, meskipun diagungkan, karena ia adik Kandaga Lante, ditaburi dengan bunga suhun, kalung dan tutup sanggul, hiasan kepala dan hiasan leher, kilat bahu pada tangan kanan, gelang emas pada tangan kiri, bergelinding gemerlap perhiasan emas.
36sigrar
37gumebrar

Bogoh ku na ti(ng)kah angkat/38 ni(ng)kahkeun tu[h]ang salira, a(ng)kat sau(ng)gut ning gelung, nyiduhna gajah haguling, tu(ng)kul kadi déwa muruy, ta(ng)gah kadi rasa manah, ngala lunas ka déwata, 
Terpikat oleh perilaku yang akan berangkat, menggerakkan dirinya sendiri, berjalan saunggut ning gelung, bagaikan meludahnya gajah berguling, menunduk bagaikan dewa bercermin, tengadah seperti sedang memanah, memohon bebas kepada dewata,
38hakat

deung nu geulis na Tu(n)jung Agung, ahisna Ketug Sang Handaru, putri ti/ Nusa Maruyu, deung nu geulis Ridu Manik, ahis Pa(n)ji Dengdengling, putri ti Nusa Keling, deung nu geulis Ridu Maya ahis tuhan Ketug Nabra, putri ti Nusa Palé(m)bang, deu(ng) nu geulis Balik Larang Haris Ba(n)cana, ahis patih39 Ga-/jah Bi(ng)bang, putri ti Nusa Madinah. 
kemudian yang cantik Tunjung Agung, adiknya Ketug Sang Handaru, puteri dari Pulau Maruyu, kemudian yang cantik Ridu Manik, adik Panji Dengdengling, puteri dari Pulau Keling, kemudian yang cantik Ridu Maya, adik tuan Ketug Nabra, puteri dari Pulau Palembang, kemudian yang cantik Balik Larang Haris Bancana, adik patih Gajah Bingbang, puteri dari Pulau Madinah.
39puhtih

Bur ti heula ley40 peu(n)deuri, sataganan lain41 deu[h]i, diselang ku urang Sumedanglarang, kingkila ari leu(m)pang, dangdan padaleman. 
Maju yang di depan diikuti yang belakang, sekelompok beda lagi, diselang oleh orang Sumedanglarang, pertanda bila berjalan, berdandan model istana.
40lel
41lahi

Nu jangkung purah mayungan, sabina42 ka[h]én pepelu(ng). Nu jangji(ng) nga[h]is ke(n)di, sabina saka-/héban kakatik. Nu le(n)jang mawa ka(n)daga, sabina43 kah pulang ka nu konéng, saha gula(n)té(ng) sabina saka puragé, nu jara(ng)ji(ng) nu rara(m)ping nu pa(n)dak nu sarayas, nu paraja lé(n) nu karonéng leumpang. Mana nu saha nu a(ng)kat ti heula,
Yang tinggi berperan memayungi, selebar kain pepelung. Yang langsing menggendong kendi, sebanyak seluruh pendamping. Yang semampai membawa kandaga, sebanyak yang kembali kepada yang kuning, bersama pengawal bekerja sesuai kemampuan, yang sama-sama langsing semampai dan ramping, yang pendek dan yang berperawakan sedang, yang pejabat selain yang sama-sama. Makanya yang pergi bersama lebih dulu,
42sabisa
43sabisa

mama nu geulis, Haci Waringin, Sang Brana Kasih, ka(n)dega(n) taan44 bo Agung nu leuwih kasih, ahis tuhan Rahmacuté, deu(ng) nu geulis Haci Waringi(n), ka(n)dega(n) Sang Brana Kasih, ka(n)dega(n) Rucita Wangi, ahis tuhan Jayasakti, seuweu patih Sang Atus/ Wangi.
ibunda yang cantik, Haci Waringin, Sang Brana Kasih, saudara puteri Embok Agung yang sangat tersayang, adik tuan Rahmacute, lalu yang cantik Haci Waringin, saudara Sang Brana Kasih, saudara Rucita Wangi, adik tuan Jayasakti, putera patih Sang Atus Wangi.
44taah

Mu(n)ding Cina pulang dagang, basa pulang ti Lamajang, sakelél miduwa basa, nu beu(ng)har di pabéan,45 na(ng)ganan deu(ng) nu geulis, Maraja Bidalarang, ka(n)dega(n) Manik Déwata, Sang Raja Angsa, ahisna Ratu Premana, tuhan Paksajati, seuweuna Serepong/Wangi, nu beu(ng)har di Taal Wangi, 
Kerbau Cina pulang berdagang, waktu pulang dari Lamajang, dapat berbicara dua bahasa, yang kaya di Pabean, serombongan dengan yang cantik, Maraja Bidalarang, saudara Manik Dewata, Sang Raja Angsa, adiknya Ratu Premana, tuan Paksajati, puteranya Serepong Wangi, yang kaya di Taal Wangi,
45payahbayan

marga di Sumedanglarang, nuturkeun lanceuk46 éwéyan, meunangkeun seuweu cikalna, meunangkeun (Em)bo(k) Larang, Déwi Paningbang. 
karenanya (ada) di Sumedanglarang, turut bersama kakak yang menikah, berjodoh dengan putera yang sulung, mendapat jodoh kepada Embok Larang, Dewi Paningbang.
46laci

Bur ti heula ley peundeuri, sataganan lain47 deu[h]i. Bogoh nu a(ng)kat dibata-/rubuhkeun, payu(ng) agung habarungan putih, deu(ng) suhung jadi tu(ng)gul bu(ng)bang, kéri kanan payung saraniya, tebéh ké(n)ca ku awak, diselang payu(ng) pa(ng)bibar. Saha nu geulis sorangan Nu pélag di padaleman48 Putri ca(m)perenik leutik, nu ma(n)cur kadi ha(n)daru, gumilang kadi lili(ng)ga, gumebray49 kadi giringsing, awak kadi wayang-wayang, miawak raga déwata, kakasih kéna na buri pawarang kéna teu cawar, nu geulis batari sang titis jadi, ka(n)dega(n) Subang Larangan, a-/his tuhan Premana, seuweu jero Kuningan, mangkubumi Singapura, nu beu(ng)har dagang homas, putri ti Sumur Wangi. 
Maju yang di depan diikuti oleh yang belakang, sekelompok beda lagi. Tertarik oleh yang pergi berduyun-duyun, payung agung berwarna putih, dan jamur jadi bongkot tebangan bersih, kiri kanan payung kebesaran, di sebelah kiri oleh manusia diselingi payung pangbibar. Siapa gerangan yang cantik menyendiri? Yang elok dalam istana? Puteri yang kecil mungil, yang bersinar bagaikan meteor, cemerlang bagaikan tiang, gemerlapan bagaikan kain giringsing, tubuh bagaikan bayang-bayang, menjelma wujud dewata, disayangi karena di kemudian hari, permaisuri karena tidak gagal, yang cantik sempurna titisan Batari, saudara Subang Larangan, adik tuan Premana, putera istana Kuningan, mangkubumi Singapura, yang kaya pedagang emas, puteri dari Sumur Wangi.
47lahi
48padalemam
49gumebrar

Joliyan50 a(ng)kat ngaré(n)déng, deu(ng) nu geulis Majeti Keling, Sri Manawangi, ahisna Haji Kurutug, tuhan Parasi, putri ti Pakungwati.
Kereta kencana jalan berdampingan, bersama yang cantik Majeti Keling, Sri Manawangi, adiknya Raja Kurutug, tuan Parasi, puteri dari Pakungwati.
50joliyat

Bur joliyan di dalem timur, muranyay katonna gumilang, (bi)tan joliyan homas lumampah.
Berangkatlah kereta kencana dari keraton timur, gemerlapan tampak cemerlang, bagaikan kereta kencana berjalan.

Saha nu a(ng)kat dibatarubuhkeun Kadi ku(n)tul sawurugan, kadi ga-/ja(h) saba(n)taya(n), na léléko deungeun sisiyakna 
Siapa yang berangkat disekaliguskan? Bagaikan sekelompok burung kuntul terbang, bagaikan segerombolan gajah berjalan, pada hamparan dan gemuruh suaranya,

raja mati tang kawina, kan(n)dega(n) Purbadewata, na tuk dira warna dale(m), sami [h]awak raga déwata, raga Pwa Héra(ng) Manik. 
raja meninggal tang kawina, saudara Purbadewata, pada tuk dira berupa keraton, seperti penjelmaan wujud dewata, wujud Pwa Herang Manik.

Joliyan a(ng)kat ngaré(n)déng, deu(ng) nu geulis Ha-/ji Bakti Batara Kasih, ka(n)dega(n) Maraja Larang, ahisna Tajimaléla Pa(n)ji Romahiyang, seuweu Demung Tabela Pa(n)ji Sonajaya, nu beu(ng)har di Singapura.
Kereta kencana berangkan berdampingan, bersama yang cantik Raja Bakti Batara Kasih, saudara Maraja Larang, adiknya Tajimalela Panji Romahiyang, putera Demung Tabela Panji Sonajaya, yang kaya di Singapura.

Saha nu ngahapit joliyan, tebéh katuhu Mama nu geulis Baliklayaran, putri ti Kalapa Girang, tebéh ké(n)ca Baliklarang[ng]an, seuweu susuhunan [h]urang Kalapa, putri ti Kalapa Hilir, tebéh tukang Mayang Pangabar, seuweuna purwa pulo Sagara, putri ti Kandanghaur,
Siapa gerangan yang mengapit kereta kencana, di selelah kanan? Ibunda yang cantik Baliklayaran, puteri dari Kalapa Girang, di samping kiri Baliklarangan, putera pemimpin masyarakat Kalapa, puteri dari Kalapa Hilir, di belakang Mayang Pangabar, putera sulung Pulau Sagara, puteri dari Kandanghaur,

Saha nu ngalebur tapak Hacimaya Déwata, Putri ti Ta(n)jung Camara, ahisna ratu Mangriwu, sangiwah luru kalang, sabukala wirang mokoy, tuhan sagara, putri ti Ta(n)jung Camara, beunang ti Solok Bako, Karang Si(n)dulang di muhara/ Cilamaya, di Sang(h)iya(ng) Atas Keling, ahis Hacimaya Raja, seuweuna  sa(ng) guru Pamijahan,51asuh Haci Mageuhan, seuweu Sa(ng)hiya(ng) di umbul52 Catih, asuh53 Hacimaya Mani(k), seuweu susuhunan Pakancilan, ma(ng)kubumi Pakancilan, asuh/ Haci Madéwata, seuweu Sa(ng)hiya(ng) di umbul54 Majak, asuh Haci Lebok Maya, seuweuna Sa(ng)hiya(ng) di umbul55 Sogol, asuh Haci Ratna Larang, seuweu Sa(ng)hiya(ng) di Saligara, asuh Haci Lé(ng)gang Sari, seuweu Sa(ng(hiya(ng) Ma(n)diri, asuh Haci Mu(n)dut/ Tu(n)jung, seuweuna Sa(ng)hiya(ng) di umbul56 Tubuy, asuh Haci Maya Tunjung Maya Déwata., Sri Petas mulih déwata, deu(ng) nu geulis Maya Kusuma Manglibu Larang, mama Libu Wangi Sri Ratna, tuhan Dewata, seuweu susuhunan Li-/la, di hujung Tipu, nu ngabarangniya Sarasa Maya, heubeuheus di Sa(ng)hiya(ng), ja di suku bubukit di tanah. 
Siapakah yang menghilangkan jejak? Hacimaya Dewata, puteri dari Tanjung Camara, adiknya Ratu Mangriwu, bagaikan cahaya gelanggang, semula kecewa mokoy tuan Sagara, puteri dari Tanjung Camara, diperoleh dari Solok Bako, Karang Sindulang di muara Cilamaya, di Sanghiyang Atas Keling, adik Hacimaya Raja, puteranya sang guru Pamijahan, kakak dari Haci Mageuhan, putera Sanghiyang di umbul Catih, kakak dari Hacimaya manik, putera pemimpin mangkubumi Pakancilan, kakak dari Haci Madewata, putera Sanghiyang di umbul Majak, (adapun) kakak dari Haci Lebok Maya, puteranya Sanghiyang di umbul Sogol, kakak dari Haci Ratna Larang, putera Sanghiyang di Saligara, kakak dari Haci Lenggang Sari, putera Sanghiyang Mandiri, kakak dari Haci Mundut Tunjung, puteranya Sanghiyang di umbul Tubuy, kakak dari Haci Maya Tunjung Maya Dewata, Sri Petas kembali dewata, bersama yang cantik Maya Kusuma Manglibu Larang, ibunda Libu Wangi Sri Ratna, tuan Dewata, putera pemimpin Lila, di semenanjung Tipu, yang ngabarangniya  Sarasa Maya, menghadap kepada Sanghiyang, karena di kaki bukit di tanah.
51damijahan
52hubul
53acuh
54hubul
55hubul
56hubul

Nu geulis Gedongmaya seuweuna patih di Siyang, deu(ng) nu geulis Ra(n)cangmaya, Ramayasari Déwata. 
Yang cantik Gedongmaya, puteranya patih di Siyang, lalu yang cantik Rancangmaya, Ramayasari Dewata.

Hanaca/ raka datasawala pada jayanya magabatanga. 
Hanaca raka datasawala pada jayanya magabatanga.

Sadu pun palalunkeuneun. Sugan aya sa(s)tra ala ade (ma), sugan salah ganti(y)an, sugan kurang wuwuhan. Beu(nang) Kai Raga diajar nulis, di gunung Larang Sri Ma(ngan)ti.57
Mohon hendaknya dimaafkan. Kalaulah ada tulisan jelek dan sia-sia, jika keliru perbaikilah, jika kurang mohon dilengkapi. Hasil Kai Raga belajar menulis, (di) gunung Larang Sri Manganti.
57manganta


Referensi
Buku: Sundalana (2007): "Menyelamatkan Alam Sunda dan Beberapa Kajian mengenai Sunda", wedalan Kiblat Buku Utama.