Jumat, 25 Oktober 2019

TRITANGTU : KONSEP DASAR FALSAFAH SUNDA BUHUN

By Deden Heryana

A. TRI TANGTU

1. Kenapa Tri atau tiga ?
2. Apa yang disebut atau yang dimaksud dengan Tangtu ?
Sebelum menjawab 2 pertanyaan di atas, ada baiknya kita membahas terlebih dahulu mengenai apa yang disebut budaya, oleh karena Tri Tangtu ini sangat erat melekat dengan Budaya Sunda.

Kita ketahui, bahwa banyak sekali cerita dan pengertian mengenai apa yang disebut budaya, namun tidak ada salahnya kalau saya mencoba menambahkan satu lagi kriteria budaya ini, mudah-mudahan bisa diterima oleh semua.

Pengertian Budaya harus ditarik secara makro dan jangan dipersempit, agar dapat mewadahi segala aspek dan dimensi.

Apabila kita berandai-andai tatkala seorang individu mempertanyakan tentang eksistensinya sendiri dalam pertanyaan ; Siapa aku ? darimana aku ? dan hendak ke mana aku ?

Ini merupakan pencarian jati diri. Proses pencarian jati diri sangat dipengaruhi oleh alam dan lingkungan hidupnya, sehingga dari apa yang dilihat dan dirasakannya akan sampai pada kesimpulan bahwa semua ini ada yang menciptakan. Apa dan Siapa Tuhan ini, artian filosofis dan agama. Dari falsafah dan agama akan melahirkan disiplin-disiplin atau sistem-sistem. Sistem akan melahirkan berbagai subsistem dan seluruh aspek, mulai dari pencarian jati diri sampai sub sistem , inilah yang disebut Budaya atau adab yang dalam perjalanannya menghasilkan peradaban.

Dalam kaitan 2 pertanyaan mengenai Tri Tangtu di atas, kita ambil sebagai contoh konsep budaya di atas pada budaya Sunda.

Budaya Sunda tentulah sangat erat kaitannya dengan alam dan lingkungan hidupnya. Dalam pencarian jati diri seorang manusia Sunda yang hidup dalam alam yang kaya, subur makmur, gemah ripah loh jinawi, cai cur-cor, pasir jeung lebak hejo ngemploh, beratus gunung tinggi yang menyediakan ribuan macam tumbuh-tumbuhan dan ribuan macam satwa, memberikan kemudahan dan kenikmatan hidup bagi manusia Sunda, maka kenikmatan dan kemudahan ini akan dipandang sebagai anugrah dari sesuatu yang menghendaki dan menciptakannya oleh penuh rasa kasih dan suci dan alam yang sempurna ini tentulah diciptakan oleh sesuatu yang sempurna dan maha.

Maka kesimpulan sang pencipta inilah yang disebut Tuhan atau Gusti, Gusti Anu Maha Asih, Anu Maha Suci, Anu Maha Agung dan Asih-lah yang menjadi energi utama dari kehendak Tuhan itu.

Dalam proses penciptaan yang penuh asih ini Tuhan lebih dulu menciptakan jagat atau alam. Yang disebut alam ini adalah terdiri dari 5 unsur yakni udara atau angkasa, bumi, air, tumbuhan dan satwa.

Di dalam rasa rumasa dan tumarimanya akan anugrah nikmat hidup ini, sadar bahwa segala sesuatu bukanlah miliknya, sekalipun dirinya sendiri adalah milik Tuhan, semua adalah titipan Tuhan dan semua akan terpulang kepada-Nya, kepada kehendak-Nya dan semua akan kembali kepada-Nya, ini yang disebut dengan Wiwitan, yaitu konsep kembali ke asal.

Kesadaran di atas menumbuhkan pengertian bahwa manusia wajib menjaga semua milik dan titipan Tuhan ini, dengan kata lain manusia wajib mengasuh, baik dirinya sendiri, sesamanya maupun lingkungan hidupnya.
Singkatnya pengertian-pengertian di atas menjadi..

-- Gusti anu asih
– Alam anu ngasah
– Manusa anu ngasuh, ngasuh kujur, Batur jeung lembur.

Asih-Asah-Asuh ini kita kenal sebagai dasar dari kehendak Tuhan atau hukum alam adalah hukum Tuhan, inti dari hukum alam adalah hukum pasti atau Tangtu.

Pasti atau Tangtu ini terkandung di dalam proses wiwitan dan di dalam hukum sebab akibat yang dalam istilah Sunda disebut hukum Pepelakan.

B. TRI TANGTU KAHIYANGAN

Di dalam pantun-pantun dan mantra-mantra Sunda kerap kita dengar ada tiga unsur di alam kahiyangan atau alam gaib yaitu Wenang, Kala, Wening.

Wenang : sesuatu yang hanya dimiliki Tuhan atau otoritas Tuhan, sehingga semesta ini disebut alam pawenangan.
Kala : adalah proses dalam penciptaan yang berisi kehendak atau program dari sang pencipta, perjalanan proses ini perlu waktu atau saat, oleh karena itu kala sering disebut waktu.
Wening : adalah segala sesuatu yang diciptakan dan ia adalah yang menerima dan diam dalam arti Tauhid atau Tahu kepada kehendak pencipta.

Tiga unsur tadi dimanifestasikan menjadi Tuhan, alam, dan manusia yang merupakan 3 unsur utama semesta. Mungkin dari pengertian-pengertian di atas yang menjadi lahirnya ungkapan Tri Tangtu.

Kesimpulannya bahwa Tri Tangtu merupakan dasar dari akar falsafah Sunda, oleh karena ternyata Tri Tangtu ini merefleksi dan direpresentasikan pada segala sistem dan sub sistem di dalam budaya Sunda seperti pada sistem negara, sistem sosial, sistem hukum, sistem seni dan lain sebagainya tidak terlepas dari prinsip Tri Tangtu ini, dan ini merupakan tugas kita semua untuk meneliti dan mengungkap keberadaan Hukum Tiga ini sebagai dasar dari budaya Sunda.

Kita ambil contoh bahwa 3 unsur tadi yaitu Wenang Kala Wening beremanasi sehingga disimbolkan sebagai 3 warna cahaya yaitu putih, kuning, dan merah, tiga warna ini kita dapati pada tumpeng, putih di dalamnya yaitu telur atau ikan teri putih, kuning pada nasi atau badannya, serta merah yaitu pada cabai merah sebagai puncak manik.

C. TRI TANGTU RUMAH

Tri Tangtu juga disimbolkan di dalam bentuk yaitu Segitiga. Segitiga adalah dasar dari segala bentuk. Bentuk segitiga ini kita dapati pada atap rumah tradisi Sunda serta ornamen puncaknya yang disebut Cagak Gunting yang merupakan 2 segitiga yaitu segitiga tak berbatas dan segitiga berbatas sebagai simbol alam gaib dan alam nyata tempat kita hidup. Rumah itu sendiri terdiri dari 3 bagian yaitu tatapakan dan kolong, bagian tengah serta atap.

D. TRI TANGTU SALIRA

Di samping itu kita kenal ada Tri Tangtu yang lain yaitu Tri Tangtu Salira, tiga titik pusat dari tiga bagian tubuh yaitu Dada, Perut dan Kepala disebut titik-titik DA, SA, RA.

DA : titik pusat bagian dada yaitu pada jantung yang merupakan representasi dari unsur Tuhan, Ini dijelaskan karena jantung adalah pusat hidup atau pusat tempat masuknya energi yang menghidupkan yang berasal dari Tuhan yang disebut  daha.  Wilayah dada ini adalah wilayah Asih dan wilayah Ketuhanan.

SA : titik pusat bagian perut yaitu pada pusar atau udel, sebagai titik pusat proses perwujudan; bahwa kita diwujudkan didalam perut ibu melalui tali ari-ari yang menyambungkan bali dan pusar kita. Wilayah perut ini merupakan representasi dari unsur alam yang mengasah atau membentuk wujud diri.

RA : titik pusat otak, titik RA adalah suatu kelenjar yang merupakan pusat syaraf dan pusat otak yang merupakan pula pusat pengendali Badan dan Kehidupan. Wilayah RA ini mewakili unsur Manusia karena kepala inilah yang membedakan manusia dengan mahluk lain, dengan kata lain kepala adalah wilayah kemanusiaan atau wilayah Asuh.

Titik RA ini dilambangkan sebagai matahari (atau Dewa Matahari), Manik Maya atau Rajawali atau Singha atau titik Jenar (Merah).

Titik RA yang merupakan pusat segala syaraf yang terdapat pada sum-sum tulang belakang yang berjumlah 25 ruas ditambah 7 ruas tulang leher dilambangkan sebagai naga ( naga kuning atau emas) atau ular berkepala 7 (di dalam cerita Hindu), jadi Naga-Ra adalah badan kita sendiri.

25+7+1 (RA)= 33. Mungkin inilah yang disebut Nu satelu puluh telu oleh orang Kanekes (Baduy), dan menurut cerita, tinggi tiang utama istana Pajajaran adalah 33 depa. Hitungan 33 juga dipakai sebagai patokan pada Tarawangsa, yaitu dari gong ke gong adalah 33 ketukan.

E. TRI TANGTU KARMA

RA sebagai pusat pengendali kehidupan dimana wujud kehidupan ini merupakan Tri Tangtu yaitu Tri Karma yang terdiri dari Bayu, Sabda, Hedap atau Pikir, Ucap dan Lampah (perbuatan). Tiga unsur tadi mempunyai Energi dan tiap manusia mempunyai frekwensinya masing-masing. Akumulasi dari 3 energi ini disebut RAHA (Roh). Tri Karma atau pikir , ucap, lampah ini juga ditentukan oleh galuh, galeuh dan galih atau menurut istilah sekarang naluri, nurani dan nalar ( SQ, EQ dan IQ).

F. TRI TANGTU BUMI

Di dalam kata pengantar terjemahan naskah amanat Galunggung menyatakan bahwa amanat Galunggung Kropak 632 menjelaskan tentang kedudukan Tri Tangtu Di Bumi yaitu, Rama-Resi-Ratu. Ketiga-tiganya mempunyai tugas yang berbeda, akan tetapi tidak dapat dipisah-pisahkan, tidak ada di antara mereka yang berkedudukan lebih tinggi dari yang lainnya. Tugasnya setara dan sama-sama mulia,  ketiga pemimpin tersebut harus bersama-sama menegakkan kebajikan dan kemuliaan melalui ucap dan perbuatan.

Dunia kemakmuran tanggung jawab sang Rama, Dunia kesejahteraan hidup tanggung jawab sang Resi, Dunia pemerintahan tanggung jawab sang Prabu/ Ratu. Jagat Palangka di sang Prabu,  jagat Daranan di sang Rama,  jagat Kreta di sang Resi.

Rama : Representasi dari unsur Tuhan yang dimanifestasikan dalam tugas Rama yaitu bidang Spritual, seorang rama ini adalah manusia yang sudah meninggalkan kepentingan yang bersifat duniawi dan lahiriah, sehingga bisa menjaga rasa asih yang tinggi dan bijaksana.
Resi : Representasi dari unsur alam yang merupakan penyedia bagi kepentingan kehidupan, maka para Resi merupakan ahli-ahli atau guru-guru di dalam bidang-bidang di antaranya pendidikan, militer, pertanian, seni, perdagangan, dan lain sebagainya. Misinya adalah Asah.
Ratu : Representasi unsur manusia yang bertugas untuk mengasuh seluruh kegiatan dan kekayaan negara. Karena misinya adalah Asuh, maka didalam tatanan Sunda para pemimpin ini disebut Pamong atau Pangereh dan bukan Pemerintah.

Bila kita bandingkan dengan keadaan kenyataan masyarakat Sunda masa kini, maka dengan sangat sedih kita harus mengakui bahwa tatanan Tritangtu di bumi pada masa dekat sunda kini telah punah, kecuali pada masyarakat-masyarakat adat.

Hal ini disebabkan karena tatar Sunda yang sangat strategis, baik secara geografi maupun secara geopolitik telah menjadi arena masuknya segala pengaruh asing yang secara penuh diadopsi oleh masyarakat Sunda modern, oleh karena itu otomatis dan perlahan namun pasti Budaya Sunda tersingkir dan terbunuh dari masyarakatnya sendiri dan tidakmungkin lagi menerapkan tataran asli Sunda pada situasi yang demikian.

Sukleuk Leuweung Suklek Lampih Jauh Ka Sintung Kalapa, Lieuk deungeun Lieuk Lain Jauh Indung Ka Bapa.” Itulah silokanya manusia Sunda sekarang yang jauh dari asalnya, satu sama lain bagaikan orang asing yang berjalan tanpa tujuan dan tanpa akhir. Apabila kita lihat kekacauan negara kita saat ini yang disebabkan oleh kekacauan politik berdampak kepada ekonomi dan sosial serta aspek-aspek lainnnya, mungkin patut kita pertanyakan apakah kita tidak salah memilih ? Kita memakai konsep-konsep yang berasal dari budaya asing, yang mungkin tidak cocok dengan masyarakat kita sendiri. Bila jawabannya YA, maka mereaktualisasi Tritangtu di bumi ini merupakan konsep alternatif bagi tatanan masa depan Indonesia.

Kita tidak usah takut untuk kembali kepada konsep-konsep leluhur kita, karena menurut prinsip Wiwitan yang berarti siklus, maka sesuatu yang berada di belakang kita suatu saat akan berada di depan kita.

Leluhur telah berpesan ; teudeun di handeuleum sieum, tunda di hanjuang siang, tunda alaeun sampeureun jaga.

Kita ambil contoh bahwa nabi Muhammad SAW mereformasi masyarakat Arab yang Jahiliyah dengan kembali pada ajaran leluhurnya yaitu Ibrahim A.S. sehingga menghasilkan masyarakat yang sejahtera yaitu masyarakat madani.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar