Kamis, 31 Oktober 2019

BATARI HYANG JANAPATI, RATU GALUNGGUNG

By Deden Heryana

Sejak zaman Sang Jatmika atau Rahyang Sempak Waja (Bathara Danghyang Guru) Galunggung telah disebut-sebut dalam Naskah kuno Sunda. Rahyang Sempak Waja adalah salah seorang putra Wretikandayun, pendiri Kerajaan Galuh. Sempak Waja memiliki adik bernama Sang Jantaka, Rahyang Kidul, Rahyang Wanayasa, Resiguru di Denuh dan Jalantara atau Mandiminyak yang kelak melanjutkan kekuasaan ayahnya.


Kerajaan Galunggung telah ada sejak zaman Sempak Waja 670 M sebagai negara agama atau kebataraan. Mulai jaman Batari Hyang, Galunggung mengalami perubahan bentuk, dari kebataraan menjadi kerajaan, yakni pada tahun 1013 Saka atau 1111 Masehi. Nama Batari Hyang namanya abadi dalam sebuah Prasasti bernama Geger Hanjuang.

Lalu, siapa Batari Hyang? Pada awal abad ke-11 M, kerajaan Sunda di bawah kepemimpinan Sri Jayabupati berkuasa tahun 1030 - 1042 M. Ibunya adalah putri asal Sriwjaya, yang masih kerabat Raja Wura Wuri. Di zaman Prabu Detya Maharaja Sri Jayabupati, kerajaan sangat kuat. Ia merupakan raja kerajaan sunda ke-20.

Kisah dimulai dari Sang Maharaja Sanghiyang Ageung wafat pada tahun 1030 Masehi. Sedangkan Dewi Sumbadra, memerintah di Kerajaan Galuh, sampai tahun 1065 Masehi. Setelah Sang Maharaja Sanghiyang Ageung wafat, penggantinya adalah Sri Jayabhupati, dengan nama lain Prabu Ditya Maharaja. Gelar panjang Sri Jayabhupati Maharaja: Jayabhupati Jaya Manahen Wisnumurti Samarawijaya-calakabhuana-mandalecwaranindita Harogowardhana wikramottunggadewa. Gelar corak Keraton Jawa Timur itu, adalah hadiah perkawinan dari mertuanya, Sri Dharmawangsa Teguh. Hadiah nama gelar semacam itu, diterima pula oleh Prabu Airlangga, menantu Sri Darmawangsa Teguh lainnya, dan digunakan sebagai gelar resmi, setelah Prabu Airlangga menjadi raja.

Prasasti Geger Hanjuang. Foto: Soekapura.or.id


Sebagai pengganti Sri Jayabhupati, adalah Sang Darmaraja, dengan nama nobat: Prabu Darmaraja Jayamanahen Wisnumurtti Sakalasundabuana. Memerintah sejak 1042-1065 M. Ketika mengawali masa pemerintahannya, terjadi pemberontakan yang dipimpin oleh Sang Wikramajaya, Panglima Angkatan Laut (Sarwajala) Kerajaan Sunda. Sang Wikramajaya, berusaha merebut kekuasaan, dari tangan saudara seayahnya. Akan tetapi, pemberontakannya dapat ditumpas, kemudian ia meloloskan diri ke Kerajaan Sriwijaya. Untuk jabatan Panglima Angkatan Laut (Sarwajala), ditunjuk Sang Wirakusuma, atas jasa kesetiaannya kepada Maharaja Darmaraja.

Dari pernikahannya dengan Dewi Surastri, Sang Maharaja Darmaraja beputera beberapa orang, tiga di antaranya ialah:
  1. Prabu Langlangbumi, putera mahkota calon pengganti ayahnya;
  2. Darmanagara, menjadi Mangkubumi kerajaan; dan
  3. Wirayuda, menjadi Panglima Angkatan Perang.
Setelah prabu Maharaja Darmaraja mangkat, kekuasaan dilanjutkan oleh Prabu langlangbumi yang berkuasa dari tahun 1065-1155 M. Dalam Naskah Carita Parahiyangan  disebut “Sang Mokteng Winduraja -  Nu Hilang di Winduraja”, yang menjadi raja sunda  selama 23 tahun.

Salah seorang putera Sri Jayabhupati dari istrinya yang lain bernama Dewi Pertiwi, adalah Sang Resiguru Batara Hiyang Purnawijaya. la berputera beberapa orang, dua di anataranya ialah:
  1. Dewi Puspawati; dan
  2. Dewi Citrawati.
Dewi Puspawati dipersiteri oleh Prabu Langlangbumi, sedangkan Dewi Citrawati juga mengharapkan menjadi isteri Prabu Langlangbumi. Oleh karena itu, timbul hasrat Dewi Citrawati untuk membunuh kakaknya, puspawati.

Melihat adanya perselisihan di antara kedua puterinya, Sang Purnawijaya segera bertindak, mengawinkan Dewi Citrawati kepada Resiguru Sudakarenawisesa, penguasa Kerajaan Galunggung. Akan tetapi, setelah perkawinannya dengan Dewi Citrawati, Sang Resiguru Sudakarenawisesa menyerahkan tahtanya kepada isterinya. Sang Resiguru Sudakarenawisesa memilih jalan hidupnya mertdalami keagamaan.

Di pedesaan antara wilayah Galuh, Sunda, dan Galunggung, tingkat keamanannya menjadi rawan, akibat ulah kawanan perampok. Kerawanan tersebut menyebabkan perselisihan, antara Prabu Langlangbumi dengan penguasa Galunggung, yaitu Dewi Citrawati, yang nama nobatnya Batari Hyang Janapati.

Selama memegang kekuasaan di Galunggung, Sang Ratu Batari Hiyang merasa cemas, akan kemungkinan serangan dari Kerajaan Sunda, karena dendam dirinya kepada Prabu Langlangbumi tak pernah padam. Untuk mencegah kemungkinan tersebut, Ratu Batari Hiyang, membentuk angkatan perang, membangun parit pertahanan yang kuat (nyusuk). Kemudian, Galunggung, dijadikan sebagal ibukota Kerajaan Galuh. Selesai membangun ibukota yang baru, Sang Ratu Batari Hyang membuat prasasti, yang kemudian dikenal sebagai Prasasti Geger Hanjuang.

Sebenarnya, Sang Maharaja Langlangbumi, tidak ada niat untuk menyerang Kerajaan Galunggung. Akan tetapi, kalau tidak segera diatasi, akan jadi duri dalam daging. la pun tidak menghendaki, timbulnya perpecahan, di antara keturunan Sri Jayabhupati.

Tindakan Sang Maharaja Langlangbumi untuk "menjinakan" Batari Hyang, dengan cara mengadakan pendekatan, melalui Batara Hyang Purnawijaya (ayahnya Batari Hyang), bersama Panglima Suryanagara (pamannya Sang Maharaja Langlangbumi). Kemudian ditempuh jalan damai, yang dihadiri oleh kedua belah pihak. Perundingan jalan damai tersebut dihadiri oleh: Batara Guru Hiyang Purnawijaya, Senapati Suryanagara, Resiguru Sudakarena, Dahiyang Guru Darmayasa, Senapati Kusumajaya, Maharaja Langlangbumi, Mangkubumi Darmanagara, Senapati Wirayuda, Yuwaraja Menak Luhur, Permaisuri Maharaja Langlangbumi Puspawati (kakak Batarai Hiyang), dan Batari Hiyang Janapati Ratu Galunggung (Dewi Citrawati), serta beberapa raja dari daerah bawahan Kerajaan Sunda dan Galuh.

Hasil perundingan jalan damai akhirnya membuahkan kesepakatan, dengan membagi wilayah kekuasaan:
  1. Sebelah barat sebagai Kerajaan Sunda, di bawah kekuasaan Prabu Langlangbumi.
  2. Sebelah timur sebagai Kerajaan Galuh, di bawah kekuasaan Ratu Batari Hiyang Janapati, dengan ibukotanya di Galunggung. 
Rupanya perjanian ini mengulangi lagi peristiwa perdamaian pasca perang saudara antara Sanjaya, Sang Banga dan Ciung Wanara. Nama Batari Hiyang diabadikan dalam Naskah rajya-rajya i bhumi Jawadwipa. Bhatari Hyang Janawati (1033-1074) S/ (1111/2-1152/3) M sebagai ratu Galuh dengan ibukota Galunggung.

Dari pernikahannya dengan Dewi Puspawati, Prabu Langlangbumi berputera beberapa orang, dua di antaranya:
  1. Rakeyan Jayagiri atau Prabu Menakluhur; dan
  2. Sang Cakranagara, menjadi Mangkubumi.
Prasasti Geger Hanjuang, merupakan sumber otentik adanya Kerajaan Galunggung. Prasasti tersebut ditemukan di bukit Geger Hanjuang, Desa Linggawangi, Kecamatan Leuwisari, Kabupaten Tasikmalaya yang termasuk area Gunung Galunggung. Di daerah tersebut, selain prasasti, dulu juga ditemukan banyak benda-benda peninggalan sejarah, seperti patung ganesha, tembikar (cepuk, pendil), batu lingga, serta benda-benda lainnya. Beberapa berhasil diselamatkan, tapi sebagian besar hanya ditemukan kepingan atau bagian-bagiannya yang hancur, baik oleh alam, maupun dihancurkan oleh orang-orang yang tak mengerti sejarah.

Prasasti Geger Hanjuang berukuran tinggi lebih kurang 80 cm, dan lebar lk. 60 cm, ditemukan oleh K.F. Holle, kemudian oleh Dr N.J. Krom disimpan di museum pusat Jakarta, tahun 1914. Inventaris No. D. 26. Prasasti ini pernah dibahas dan diteliti oleh K.F. Holle (1877), C.M. Pleyte (1911), dan Saleh Danasasmita dkk (1978).

Prasasti ini berisi tiga baris tulisan dalam aksara Sunda kuno. Dilihat dari bentuk aksaranya, para ahli sejarah menganggap aksara pada prasasti Geger Hanjuang lebih tua dari aksara yang terdapat pada Prasasti Kawali. Teksnya berbunyi:
 tra ba i guna apuy nasta gomati sakakala ru matak disusu(k) ku batari hyang pun.
Artinya: (pada tahun) 1033 (Saka) (ibukota) Ruma(n)tak diperkuat (pertahanannya) oleh Batari Hyang.

Batari Hyang memperkuat benteng pertahanan di ibukota Kerajaan Galunggung, yaitu Rumantak, yang dilakukan pada tahun 1033 Saka atau 1111 Masehi. Memperkuat pertahanan tersebut dengan cara membuat parit (nyusuk atau marigi). Peristiwa nyusuk ini juga diberitakan dalam naskah Amanat Galunggung yang berbunyi: Rahyang nyusuk na Pakwan. Kemudian dalam prasasti Kawali disebutkan Prabu Raja Wastu marigi sakuriling dayeuh Kawali. Dalam prasasti Batutulis, disebutkan Sri Baduga Maharaja nyusuk na pakwan. Kalimat tersebut dalam naskah Nagara Kertabumi diartikan amagehing (memperkokoh) Pakwan.

Artinya, peristiwa nyusuk atau membuat perigi ini dilakukan oleh para penguasa kerajaan di tatar Sunda, untuk memperkuat pertahanan, sebagai tindakan preventif yang wajar dilakukan pada masa itu, terlepas dari ada atau tidaknya ancaman pada kerajaan. Membuat parit atau perigi dilakukan juga sebagai tanda adanya pemerintahan yang baru, setelah penobatan raja dilakukan. Bukan tidak mungkin, setiap raja melakukan hal yang sama, dan raja berikutnya yang baru dinobatkan membuat atau memperbaiki perigi yang sudah ada, karena perigi lama dianggap sudah tak memadai atau dangkal. Seperti halnya dilakukan oleh Sri Baduga pada tahun 1482. Pakuan yang sudah disusuk oleh Rakeyan Banga pada tahun 739, disusuk kembali oleh Sri Baduga, karena keadaan kota Pakuan sudah jauh lebih luas dari batas parit semula.

Melihat isi dari prasasti Geger Hanjuang, ada dua hal utama yang menjadi isi teks prasasti tersebut. Yakni, Rumantak  sebagai ibukota kerajaan, serta Batari Hyang sebagai penguasanya. Sebelum Galunggung menjadi kerajaan pada masa Batari Hyang, bisa dipastikan bahwa Rumantak adalah juga pusat dari kabuyutan Galunggung. Di sanalah para batara atau rajaresi memimpin kabuyutannya, serta menerima tetamu agung dari kerajaan seperti Galuh. Bahkan bukan tidak mungkin, di Rumantak pulalah para rajaresi yang wafat diupacarakan.

Batari Hyang Janapati, tentu saja adalah seorang perempuan, dan dalam perjalanan sejarah masa lampau di tatar Sunda, dialah satu-satunya perempuan yang memimpin kerajaan dan namanya diabadikan pada sebuah prasasti. Hal ini menjadi sebuah catatan penting dari puncak pencapaian seorang perempuan di tengah hirarki kekuasaan yang berlangsung selama berabad-abad di tatar Sunda.

Referensi

  1. Serbasejarah.wordpress.com. Sejarah Kerajaan-Kerajaan Di Tatar Sunda: Kumpulan Tulisan Pengeran Wangsakerta. Doc file
  2. Muhajir Salam, dkk. "Galunggung sebagai Kerajaan". Soekapoera.or.id
  3. Suryani, Elis. 2017. Batari Hyang Janapati dalam Perspektif Gender. Jentera: Jurnal Kajian Sastra. 6 (2), 164-180. Jentera: Jurnal Kajian Sastra, 2017, Volume 6, Nomor 2 tahun 2017. researchgate.net Diakses 8 September 2019.
  4. Atja,  dan  Saleh    Danasasmita.  1981. Carita    ParaHyangan    (Transkripsi,   Terjemahan,  dan  Catatan.  Bandung: Proyek  Pengembangan  Permuseuman Jawa Barat.  
  5. Ayatrohaedi.  1981.  “Peranan  Benda Purbakala  dalam  Historiografi Tradisional” dalam  Majalah  Ilmu-Ilmu Sastra  Indonesia,  Penelitian  dan Penerbitan  Buku/Majalah Pengetahuan  Umum  dan Profesi  Dep. Dik.  Bud.  Jakarta:  Fakultas  Sastra Universitas Indonesia.  
  6. Danasasmita,  Saleh.  Ya Nu  Nyusuk  na Pakwan  .Bandung:  Lembaga Kebudayaan  Unpad.  Danasasmita, Saleh, dkk. (1987). Sewaka Darma,  Sanghyang  Siksakandang Karesian,  Amanat  Galunggung. Transkripsi  dan  Terjemahan.  Bandung: Bagian Proyek Sundanologi.
  7. Suryani  NS,  Elis.  (2016).  Srikandi Indonesia.  Bandung:  Opini  Pikiran Rakyat
  8. Ekadjati,  Edi  Suhardi.    (2006).  Nu Maranggung  Dina  Sajarah  Sunda. Bandung: Pusat Studi Sunda.
  9. Seri  Sundalana  5.  (2006).  Mencari Gerbang  Pakuan  dan  Kajian  Lainnya mengenai  Budaya  Sunda.  Bandung: Pusat Studi Sunda.  
  10. Sunardjo,  Unang,  dkk.  (1978).  (Tim Penyusun).  Hari  Jadi  Tasikmalaya. Tasikmalaya: Pemerintah Daerah TK. II Tasikmalaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar