Kamis, 31 Oktober 2019

MUSNAHNYA IBUKOTA PAJAJARAN KARENA LETUSAN GUNUNG SALAK?

By Deden Heryana

Sebuah catatan dari tahun 1702 dari Ekspedisi Belanda Raam & Coops, menceritakan keadaan yang diakibatkannya. Pada catatan itu tertulis, ”Dataran tinggi antara Batavia dengan Cisadane di belakang bekas keraton raja-raja Jakarta (maksudnya Pajajaran) yang disebut Pakuan (Kota Bogor sekarang) yang asalnya berupa hutan besar, setelah terjadi gempa bumi berubah menjadi lapangan luas dan terbuka, tanpa pohon-pohonan sama sekali.

Permukaan tanah tertutup dengan tanah liat merah yang halus seperti biasa digunakan tukang tembok. Di beberapa tempat telah mengeras sehingga dapat menahan beban langkah yang berjalan di atasnya, tetapi pada tempat tempat lain orang dapat terbenam sedalam satu kaki.

Di tempat bekas keraton yang disebut Pakuan yang terletak di antara Batavia dengan Cisadane belum pernah terjadi bencana lain yang menyebabkan tanah tersobek dan pecah terbelah-belah menjadi retakan-retakan besar yang lebih dari satu kaki lebarnya.”

Gunung Salak tercatat sudah beberapa kali erupsi, tetapi erupsi terbesar adalah erupsi yang terjadi pada 1699 itu. Catatan itu diperkuat beberapa catatan Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) tentang bekas Kerajaan Pakuan Pajajaran tersebut.

Laporan tertulis pertama mengenai lokasi Pakuan diperoleh dari catatan perjalan ekspedisi pasukan VOC.  Setelah mencapai persetujuan dengan Cirebon (1681), Kumpeni Belanda menandatangani persetujuan dengan Banten (1684). Dalam persetujuan itu ditetapkan Cisadane menjadi batas kedua belah pihak.

Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai lokasi “bekas istana” Kerajaan Pajajaran, VOC mengirimkan tiga tim ekspedisi yang masing-masing dipimpin oleh
  1. Scipio (1687)
  2. Adolf Winkler (1690)
  3. Abraham van Riebeeck (1703, 1704, 1709)
  4. Laporan Scipio
Dua catatan penting dari ekspedisi Scipio adalah:
 Catatan perjalanan antara Parung Angsana (Tanah Baru) menuju Cipaku dengan melalui Tajur, kira-kira lokasi Pabrik “Unitex” sekarang. Catatannya adalah sbb.: “Jalan dan lahan antara Parung Angsana dengan Cipaku adalah lahan yang bersih dan di sana banyak sekali pohon buah-buahan, tampaknya pernah dihuni”.
Lukisan jalan setelah ia melintasi Ciliwung. Ia mencatat “melewati dua buah jalan dengan pohon buah-buahan yang berderet lurus dan tiga buah runtuhan parit”. Dari anggota pasukannya, Scipio memperoleh penerangan bahwa semua itu peninggalan dari Raja Pajajaran.

Dari perjalanannya disimpulkan bahwa jejak Pajajaran yang masih bisa memberikan “kesan wajah” kerajaan hanyalah “Situs Batutulis”.

Penemuan Scipio segera dilaporkan oleh Gubernur Jenderal Joanes Camphuijs kepada atasannya di Belanda. Dalam laporan yang ditulis tanggal 23 Desember 1687, ia memberitakan bahwa menurut kepercayaan penduduk, “dat hetselve paleijs en specialijck de verheven zitplaets van den getal tijgers bewaakt ent bewaart wort” (bahwa istana tersebut terutama sekali tempat duduk yang ditinggikan untuk raja “Jawa” Pajajaran sekarang masih berkabut dan dijaga serta dirawat oleh sejumlah besar harimau).

Rupanya laporan penduduk Parung Angsana ada hubungannya dengan seorang anggota ekspedisi yang diterkam harimau di dekat Cisadane pada malam 28 Agustus 1687. Diperkirakan Situs Batutulis pernah menjadi sarang harimau dan ini telah menumbuhkan khayalan adanya hubungan antara Pajajaran yang sirna dengan keberadaan harimau.


Kontroversi Erupsi Gunung Salak 1699

Gunung Salak disebut telah meletus pada awal tahun 1699, tepatnya tengah malam menjelang tanggal 5 Januari. Banyak referensi yang mengutip keyakinan ini, termasuk yang tercantum dalam Data Dasar Gunung Api Indonesia (Edisi Kedua) yang disusun oleh Badan Geologi pada 2011.

Dikutip dari tulisan T. Bachtiar bertajuk “Gunung Salak Tidak Meletus Tahun 1699” yang dimuat dalam Pikiran Rakyat (2018), data dari Badan Geologi itu menyebutkan: “Tahun 1668-1699 terjadi erupsi samping dan erupsi normal, erosi yang merusak lingkungan di Gunung Salak II. Erupsi berupa letusan magmatik.”

Salah satu tulisan yang terhimpun dalam jurnal Duta Rimba (1999) terbitan Perum Perhutani juga menyebut Gunung Salak erupsi pada 1699 (hlm. 50). Letusan tersebut menghasilkan lahar dingin yang mendangkalkan sejumlah sungai di wilayah Jawa Barat yang mengalir sampai ke Batavia (Jakarta), termasuk Sungai Ciliwung.

Buku Gagalnya Sistem Kanal: Pengendalian Banjir Jakarta dari Masa ke Masa (2010) yang ditulis Restu Gunawan mengungkapkan, aliran lahar Gunung Salak—juga dari Gunung Gede dan Pangrango—menyebabkan pengendapan lumpur sungai yang nantinya membentuk Teluk Jakarta. Setelah Gunung Salak meletus pada 1699, lanjutnya, garis batas pantai bergeser 75 meter ke arah laut tiap tahun.

Tulisan Gunawan selaras dengan penjelasan Abdoel Raoef Soehoed dalam buku Banjir Ibukota: Tinjauan Historis dan Pandangan ke Depan (2002). Soehoed bahkan menuliskan bahwa letusan Gunung Salak tahun 1699 membuat Kota Batavia terkena hujan abu, juga dilanda arus lumpur yang besar (hlm. 27).

Referensi yang lebih tua, The Malay Archipelago (1869) karya Alfred Russel Wallace, tidak menyebut secara jelas apakah Gunung Salak memang mengalami erupsi pada 1699 itu. Wallace hanya menuliskan telah terjadi “letusan lumpur besar” dan meyakini setelah itu Gunung Salak sudah tidak aktif lagi (hlm. 174).

Ternyata Bukan Meletus?

Apakah Gunung Salak benar-benar telah meletus pada 1699 itu? Saleh Danasasmita dalam buku Sejarah Bogor (1983) menuliskan bahwa Gunung Salak meletus dengan iringan gempa bumi yang sangat kuat (hlm. 84).

Namun, catatan resmi pemerintah kolonial Hindia Belanda tidak menyebut Gunung Salak mengalami erupsi. Laporan J.A. van der Chijs dalam Nederlandsch-Indisch Plakaatboek 1602-1811 (1886) menuliskan bahwa yang terjadi adalah gempa bumi, bukan letusan gunung.

Van der Chijs mencatat: “Dataran tinggi antara Batavia dengan Cisadane, di belakang bekas keraton raja-raja yang disebut Pakuan, yang semula berupa hutan besar, setelah terjadi gempa bumi, berubah menjadi lapangan luas dan terbuka, sama sekali tidak ada pepohonan.”

Lereng Gunung Salak memang pernah menjadi lokasi pembangunan istana Kerajaan Pakuan atau Pajajaran. Mitosnya, Sri Baduga Maharaja atau Prabu Siliwangi ( 1482-1521) moksa di area gunung ini untuk menghindari kejaran pasukan yang dipimpin putranya, Raden Kian Santang.

Gunung Salak juga menjadi asal-muasal peradaban orang Sunda. Di lereng gunung ini, pada abad ke-2 Masehi pernah berdiri Kerajaan Salakanagara yang diyakini sebagai kerajaan Sunda tertua di Nusantara (Halwany Michrob, dkk., Catatan Masa Lalu Banten, 1993:33). Nama Gunung Salak disebut-sebut berasal dari kata Salakanagara.

Untuk menyelidiki apa yang terjadi di Gunung Salak pada 1699, otoritas Belanda di Batavia mengirimkan tim khusus yang dipimpin Ram dan Coops. Ekspedisi ini, sebut Frederik de Haan dalam Priangan, de Preanger-regentschappen Onder het Nederlandsch Bestuur tot 1811 (1911) dilakukan pada 1701.

Ram dan Coops melaporkan, tidak terdapat laporan serius tentang nasib penduduk di sepanjang Sungai Ciliwung. Jika benar Gunung Salak meletus dan mengalirkan lahar dingin dalam jumlah besar, tentunya akan mengakibatkan kerusakan parah terhadap desa-desa di sekitar sungai itu, juga berpotensi menelan korban jiwa.

Apabila memang terjadi terjangan lahar dingin, tulis Danasasmita (1983), diperkirakan banjir bebatuan itu ambles ke dalam tanah yang terbelah di antara Sungai Ciliwung dan Cisadane, yang kemudian menyebabkan Batavia dilanda banjir.

T. Bachtiar dalam artikel “Guguran Puing dari Gunung Salak” (Pikiran Rakyat, 2018) cenderung meyakini bahwa apa yang terjadi pada 1699 itu bukan letusan, melainkan debris avalanche atau guguran puing. Puing-puing di lereng gunung longsor dan berguguran akibat diguncang gempa bumi kemudian membentuk lembah besar dan dalam, sebagaimana laporan van der Chijs.

Riset Christopher J. Harpel, peneliti dari Earth Observatory of Singapore, yang dilakukan tahun 2015, mengakui bahwa Gunung Salak memang pernah beberapa kali meletus, tapi bukan pada 1699. Erupsi terjadi pada 1688, 1761, 1780, 1902, 1903, 1919, 1923, 1929, 1935, 1936, dan terakhir 1938.

Menurut Harpel, kandungan batu apung dalam deposit aliran guguran puing di Gunung Salak tahun 1699 terlalu sedikit. Ini menyiratkan, dikutip dari Bachtiar, bahwa tidak pernah terjadi letusan yang berbarengan dengan guguran puing.

Jauh sebelumnya, Verbeek dan Fennema dalam laporan bertajuk “De Salak” (1896) dengan lebih tegas menyatakan: “Letusan Gunung Salak pada tahun 1699 tidak terjadi sehingga harus dicoret dari daftar gejala letusan gunung api.”

Lantas, mana yang benar? Apakah Gunung Salak benar-benar erupsi atau tidak pada 1699 itu? Hal ini masih menjadi perdebatan, bahkan terus diteliti meskipun sudah berlalu beratus-ratus tahun silam.

Terkadang, bisa saja terjadi gejala atau peristiwa mirip letusan seperti pada 1699 atau 2018 lalu. Yang jelas, kewaspadaan dan pemantauan harus selalu dilakukan karena sampai saat ini Gunung Salak masih tercatat sebagai gunung api aktif meskipun terakhir diketahui erupsi sudah cukup lama.


Referensi

  1. Danasasmita, Saleh. 1983. Sejarah Bogor. Bogor: Pemerintah Daerah Kotamadya DT II Bogor
  2. Soehoed, Abdoel Raoef. 2002. Banjir Ibukota: Tinjauan Historis dan Pandangan ke Depan.
  3. Wallace, Alfred Russel. 1869. The Malay Archipelago.
  4. "Kontroversi Letusan Gunung Salak Tahun 1699" tirto,id oleh: Iswara N Raditya Editor: Windu Jusuf. Diakses 21 September 2019.
  5. "Gunung Salak Tidak Meletus Tahun 1699" pikiran-rakyat.com oleh: T Bachtiar, 27 Jan 2018. Diakses 21 September 2019.
  6. Hystoriana.blogspot.com
  7. "Gunung Salak - Data Dasar Gunung Api Indonesia" 2 Januari 2012, Badan Geologi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral RI - esdm.go.id Diakses 21 September 2019.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar