Sabtu, 12 Oktober 2019

MENGENAL CANDI BOROBUDUR LEBIH DALAM

By Deden Heryana

Candi Barabudhur terletak di Kabupaten Magelang, sekitar 15 km ke arah Barat daya Yogyakarta. Untuk alamat pasti dan lengkapnya, Candi Borobudur berada di Jalan Badrawati, Borobudur, Kota Magelang, Jawa Tengah. Candi Buddha terbesar di Indonesia ini telah warisan budaya duniadan telah terdaftar dalam daftar warisan dunia (world heritage list), yang semula diberi nomor 348 dan kemudian diubah menjadi 582 pada tahun 1991. Lokasi Candi Barabudhur yang merupakan bukit kecil dikelilingi oleh pegunungan Menoreh, G. Merapi dan G. Merbabu di timur laut, serta G. Sumbing dan G. Sindoro di barat laut.

Candi Borobudur dibangun pada masa penganut ajaran Buddha Mahayana tepatnya sekitar tahun 750-800 an Masehi. Candi Borobudur  termasuk dalam 7 keajaiban dunia, selain karena menjadi yang terbesar, Candi Borobudur menjadi Candi Buddha yang tertua karena di bangun jauh sebelum Candi Angkor Wat di Kamboja yang masih baru dibangun kira-kira pada pertengahan abad ke-12 oleh Raja Suryavarman II.

Sampai saat ini belum ada kesepakatan di antara para pakar tentang nama Barabudhur. Dalam Kitab Negarakertagama (1365 M.) disebut-sebut tentang Budur, sebuah bangunan suci Buddha aliran Vajradhara. Menurut Casparis dalam Prasasti Sri Kahulunan (842 M) dinyatakan tentang “Kawulan i Bhumi Sambhara”. Berdasarkan hal itu ia berpendapat bahwa Barabudhur merupakan tempat pemujaan. Bumi Shambara adalah nama tempat di Barabudhur. Menurut Poerbatjaraka, Barabudhur berarti Biara Budur, sedangkan menurut Raffles, 'bara' berarti besar dan 'budhur' merupakan kata dalam bahasa Jawa yang berarti Buddha.

Berdasarkan tulisan yang terdapat di beberapa batu di Candi Barabudhur, para ahli berpendapat bahwa candi ini mulai dibangun sekitar tahun 780 M, pada masa pemerintahan raja-raja Wangsa Sanjaya. Pembangunannya memakan waktu berpuluh-puluh tahun dan baru selesai sekitar tahun 830 M, yaitu pada masa pemerintahan Raja Samaratungga dari Wangsa Syailendra. Konon arsitek candi yang maha besar ini bernama Gunadharma, namun belum didapatkan informasi tertulis tentang tokoh ini. Pada tahun 950 M, Candi Barabudhur terkubur oleh lava letusan G. Merapi dan baru ditemukan kembali hampir seribu tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1814. Penemuan kembali Candi Barabudhur adalah atas jasa Sir Thomas Stamford Raffles.

Pada saat Raffles berkunjung ke Semarang, ia mendapatkan informasi bahwa di daerah Kedu ditemukan tumpukan batu bergambar. Konon pada tahun 1814, serombongan orang mendatangi suatu daerah di Karesidenan Kedu untuk mencari tahu lebih jauh tentang legenda yang berkaitan dengan sebuah bukit dekat Desa Boro. Setelah membabat semak belukar dan menggali serta membersihkan gundukan abu gunung berapi, mereka menemukan sejumlah besar bongkahan batu berpahatkan gambar-gambar aneh. Raffles kemudian memerintahkan Cornelius, seorang Belanda, untuk membersihkan batu-batu tersebut. Pembersihan tumpukan batu dan lingkungan di sekitarnya kemudian dilanjutkan oleh Residen Kedu yang bernama Hartman.

Candi Barabudhur berdiri di atas bukit yang memanjang arah timur-barat. Candi ini dibangun dari balok batu andesit sebanyak 47,500 m3, yang disusun rapi tanpa perekat, dan dilapisi dengan lapisan putuh 'vajralepa', seperti yang terdapat di Candi Kalasan dan Candi Sari. Bangunan kuno Barabudhur berbentuk limas bersusun dengan tangga naik di keempat sisi, yaitu sisi timur, selatan, barat, dan utara. Konon di sisi timur, di bawah kaki candi, pernah ditemukan jalan naik ke atas bukit. Hal itu mendasari dugaan bahwa Candi Barabudhur menghadap ke timur dan pintu utama adalah yang terletak di sisi timur.

Tangga paling bawah dihiasi dengan kepala naga dengan mulut menganga dan seekor singa duduk di dalamnya. Dugaan bahwa Candi Barabudhur menghadap ke timur diperkuat dengan adanya pahatan relief pradaksina (yang dibaca memutar searah jarum jam), berawal dari dan berakhir di sisi timur. Selain itu, arca singa yang terbesar juga terdapat di sisi timur. Tangga menuju ke tingkat yang lebih tinggi dilengkapi dengan gerbang yang berukir indah dengan kalamakara tanpa rahang bawah di atas ambang pintu. Pada mulanya tinggi keseluruhan bangunan kuno ini mencapai 42 m, namun setelah pemugaran tingginya hanya mencapai 34,5 m. Batur atau kaki candi berdenah bujur sangkar dengan luas denah dasar 123 x 123 m, dilengkapi penampil yang menjorok keluar di setiap sisi. Keseluruhan bangunan terdiri atas 10 lantai yang luasnya mencapai 15, 13 m2. Lantai I sampai dengan lantai VII berbentuk persegi, sedangkan lantai VII sampai dengan lantai X berbentuk lingkaran.

Candi Barabudhur tidak mempunyai ruangan untuk tempat beribadah atau melakukan pemujaan karena candi ini dibangun untuk tempat berziarah dan memperdalam pengetahuan tentang Buddha. Luas dinding keseluruhan mencapai 1500 m2, dihiasi dengan 1460 panil relief, masing-masing selebar 2 m.

Jumlah Arca Buddha, termasuk yang telah rusak, mencapai 504 buah. Arca-arca Buddha tersebut menggambarkan Buddha dalam berbagai sikap.

- Arca-arca di sisi timur menggambarkan Dhyani Buddha Aksobhya, yaitu Buddha bersila dengan sikap tangan menyinggung tanah atau sikap Bhumiparsyamudra.
- Arca-arca di sisi selatan menggambarkan Dhyani Buddha Ratnasambhawa, yaitu Buddha bersila dengan sikap tangan memberi anugrah atau sikap Varamudra.
- Arca-arca di sisi barat menggambarkan Dhyani Buddha Amitabha, yaitu Buddha bersila dengan sikap tangan bersemadi sikap Dhyanamudra.
- Arca-arca di sisi utara menggambarkan Dhyani Buddha Amogasidhi, yaitu Buddha bersila dengan sikap tangan menentramkam atau sikap Abhayamudra.
- Arca-arca di puncak menggambarkan Dhyani Buddha Vairosyana, yaitu Buddha bersila dengan sikap tangan mengajar (ibu jari dan telunjuk bersentuhan dan ketiga jari lain terangkat) atau sikap Vitarkamudra.
- Arca-arca di undakan lingkaran menggambarkan Dhyani Buddha Vairosyana, yaitu Buddha bersila dengan sikap tangan mewejangkan ajaran atau sikap Dharmacakramudra.

Candi Barabudhur melambangkan tiga tingkatan dalam kehidupan manusia. Kaki candi disebut Kamadhatu, melambangkan kehidupan di dunia fana, yang masih dipenuhi kama (hasrat dan nafsu). Pada dinding kaki candi terdapat 160 panil relief Karmawibangga. Saat ini relief tersebut tidak dapat dilihat karena tertutup urukan. Pada saat pembangunan candi ini sedang berlangsung, bangunan yang belum selesai tersebut melesak ke bawah, sehingga arsiteknya memutuskan untuk menguruk bagian kakinya. Konon selain untuk menghindari longsor, pengurukan bagian kaki ini juga didasarkan atas alasan etika dan estetika.

Tubuh candi terdiri atas 5 tingkat, makin ke atas makin mengecil, dengan denah bujur sangkar. Di setiap tingkat terdapat selasar yang cukup lebar mengelilingi tubuh candi. Tepi selasar diberi dinding yang dihiasi dengan panil-panil relief. Tubuh candi disebut Rupadhatu, yang berarti dunia rupa. Dalam dunia ini manusia masih terikat dengan kehidupan duniawi, namun sudah mulai berusaha mengendalikan hasrat dan nafsu.

Di beberapa tempat terdapat saluran pembuangan air yang disebut Jaladwara. Dinding atas tingkat I dihiasi dengan relief cerita yang diambil dari Kitab Lalitawistara, yang mengisahkan riwayat Sang Buddha sejak turun dari surga Tusita ke bumi, saat menerima wejangan di Taman Rusa dekat Benares, sampai pada saat mencapai kesempurnaan.

Dinding bawah dihiasi dengan relief Jatakamala, kisah kehidupan Jataka dan Avadana, yang diwujudkan sebagai Boddhisatwa karena perilakunya yang baik dalam kehidupannya yang lalu. Bagian lain dari Kitab Jatakamala menghiasi sepanjang bagian atas dan bagian bawah pagar selasar tingkat I dan tingkat II. Dinding candi di tingkat II dihiasi relief dari Kitab Gandawyuha. Demikan juga dinding dan pagar selasar di tingkat III dan tingkat IV. Kisah Sudhana yang dalam upayanya mencari pengetahuan dan kebenaran telah bertemu Gandawyuha yang mengajari tentang kebijakan untuk mencapai kesempurnaan dalam hidup.

Atap candi yang terdiri atas 3 tingkat disebut Arupadhatu, yang berarti dunia tanpa rupa (wujud). Pada tataran kehidupan ini manusia sudah terlepas dari hasrat dan nafsu. Atap candi berupa batur bersusun 3 dengan denah bundar membentuk 3 lingkaran bersusun dengan pusat yang sama dengan stupa-stupa berisi arca Buddha. Dalam lingkaran di tingkat I terdapat 32 stupa, di tingkat II terdapat 24 stupa dengan lubang-lubang berbentuk wajik, bersisi horisontal datar dan sisi vertikal miring. Lubang berbentuk wajik melambangkan adanya nafsu yang masih tersisa. Di tingkat III terdapat 16 stupa dengan lubang hiasan berbentuk persegi, bersisi horisontal datar dan sisi vertikal tegak. Lubang berbentuk persegi ini melambangkan nafsu yang telah lenyap tak bersisa. Puncak atap merupakan sebuah stupa yang sangat besar. Konon dalam stupa ini dahulu terdapat arca Sang Adhi Buddha, yaitu Dhyani Buddha tertinggi dalam agama Buddha Mahayana.

Candi Barabudhur telah mengalami beberapa kali pemugaran. Pemugaran pertama dilakukan pada masa pemerintahan Belanda, yaitu pada tahun 1907 – 191, di bawah pimpinan Van Erp. Dalam pemugaran ini yang diutamakan adalah mengembalikan ketiga teras atap candi dan stupa pusatnya. Pemugaran kedua berlangsung selama sepuluh tahun, yaitu tahun 1973 – 1983. Dalam pemugaran ini Candi Barabudhur dibongkar, fondasi dan dindingnya diberi penguat beton bertulang, dan batu-batunya diteliti, dibersihkan, diberi pengawet kedap air dan disusun kembali sesuai susunannya semula.

Asal Usul Candi Barabudhur

asal-usulnya, Candi Borobudur pun masih diliputi misteri dan menyebabkan banyak pertanyaan mengenai siapa pendiri awalnya.

Sejarah Candi Borobudur

Candi Borobudur memiliki catatan sejarah yang panjang. Candi Borobudur dibangun pada saat masa pemerintahan dinasti Syailendra tepatnya ketika masa banyak pengikut ajaran agama Buddha Mahayana.

Sejarah asal usul dibangunnya Candi Borobudur, mulai dari awal mula berdirinya, penemuannya kembali hingga tentang proses pemugaran Candi Borobudur kembali.

Nama Candi Borobudur sendiri berasal dari kata bara dan budur. Dalam istilahnya, bara memiliki arti kompleks biara dan kata budur yang mempunyai arti atas. Jika digabungkan menjadi kata barabudur dibaca borobudur yang berarti kompleks biara di atas.

Candi Borobudur terletak tepat di atas sebuah bukit sebagai komplek biara yang sungguh megahnya. Tidak ada yang tahu siapa pasti yang membangun Candi Borobudur. Tidak ada bukti tertulis maupun bukti-bukti lainnya yang menjelaskan sejarah pasti tentang Candi Buddha terbesar ini. Setelah penemuannya, para peneliti hanya memperkirakan bahwa Candi Borobudur dibangun antara tahun 750-800 an Masehi.

Perkiraan waktu pembangunan ini pun didasarkan pada perbandingan antara jenis aksara yang tertulis di kaki tertutup Karmawibhangga Candi Borobudur dengan jenis aksara umumnya yang digunakan pada prasasti kerajaan abad ke-8 dan ke-9 Masehi. Dasar ini kemudian memperkirakan bahwa Candi Borobudur dibangun pada masa kerajaan dinasti Syailendra di Jawa Tengah yang bertepatan antara kurun waktu 760 sampai dengan 830 Masehi.

Memilih lokasi di atas perbukitan tinggi, kompleks biara Candi Borobudur melalui proses pembangunan dengan memakan waktu dari 75 sampai dengan 100 tahun lebih lamanya. Candi Borobudur pun diperkirakan baru benar-benar rampung 100 persen pada masa pemerintahan Raja  Samaratungga pada tahun 825.

Pendiri Candi Borobudur

Siapakah yang membangun Candi Borobudur pada masa itu? Catatan sejarahpun tidak mampu memberikan bukti dan perkiraan siapa pasti yang pendiri awal Candi Borobudur. Catatan sejarah hanya menyebutkan bahwa Candi Borobudur dibangun pada masa kejayaan dinasti Syailendra.

Meski dikenal sebagai Candhi Budha  namun sebenarnya sempat ada ketidakjelasan Candi Borobudur merupakan peninggalan agama apa, apakah peninggalan agama Buddha ataukah Hindu pada waktu itu.

Dalam sejarah, diketahui bahwa masyarakat pada masa dinasti Syailendra adalah penganut agama Buddha bermadzhab atau beraliran Mahayana yang taat. Pada temuan yang didasarkan prasasti Sojomerto menunjukkan bahwa awalnya mereka mungkin beragama Hindhu Siwa.

Di Jawa, masa itu, banyak sekali terjadi pembangunan berbagai candi Hindu di dataran Kedu. Beberapa contoh misalnya, seperti Candi suci Shiwalingga yang lokasinya pun berdekatan atau berada di sekitar kawasan Candi Borobudur. Meski begitu umumnya kemudian Candi Borobudur disepakati menjadi candi peninggalan kerajaan Buddha.

Meski sejarah menyebutkan juga bahwa Candi Borobudur sendiri dibangun pada kurun waktu yang hampir bersamaan dengan dibangunnya candi-candi di Dataran Prambanan, meskipun Candi Borobudur selesai dibangun lebuh dahulu sekitar tahun 825 an Masehi.

Proses Pembangunan Candi Borobudur

Candi Borobudur awal mulanya adalah berupa rancangan bangunan berupa stupa tunggal yang sangat besar yang memahkotai puncaknya. Namun karena pertimbangan bahwa stupa akan terlalu besar dan berat yang beresiko membahayakan jika diletakkan di puncak, maka kemudian stupa tersebut dibongkar dan digantikan dengan tiga barisan stupa dengan ukuran kecil dan satu stupa induk seperti sekarang ini.

Megahnya bangunan Candi Borobudur sendiri terbagi ke dalam 10 tingkat yang berbentuk punden berundak. Filosofi yang terkandung pada 10 tingkat bangunan Candi Borobudur tersebut adalah untuk melambangkan tahap dan proses hidup manusia.

Bangunan Candi Borobudur memiliki enam teras berbentuk bujur sangkar yang di atasnya mempunyai atau terdapat pelataran melingkar. Pada dinding Candi juga dihiasi dengan kira-kira 2.672 panel relief serta terdapat 504 arca Buddha. Stupa utama Borobudur yang paling besar terletak di tengah sekaligus menjadi mahkota di puncak bangunan ini.

Stupa puncak tersebut pun dikelilingi oleh tiga barisan dari 72 stupa berlubang yang terdapat arca Buddha yang duduk bersila di tengah-tengah bunga teratai sempurna dengan mudra (sikap tangan) dharmachakra mudra (memutar roda dharma).

Adapun proses tahapan-tahapan dalam pembangunan Candi Borobudur adalah sebagai berikut:

Tahap Pertama

Pada tahap pertama pembangunan Candi Borobudur, pembangunan dilakukan dengan meletakkan pondasi dasar bangunan Candi. Karena tidak tahu kapan pasti Candi Borobudur dibangun, tahap awal pembangunan kira-kira dimulai pada tahun 750 an Masehi. Candi Borobudur dibangun di atas kontur perbukitan tinggi, yang mana pada bagian bukit yang paling puncak diratakan guna membentuk pelataran datar yang luas.

Bahan bangunan dasar Candi Borobudur adalah terbuat dari batuan andesit, namun ini tidak seluruhnya. Untuk membentuk pondasi dasar Candi Borobudur, tanah pada bagian bukit dipadatkan dan ditutup material struktur batu sehingga menyerupai cangkang yang membungkus bukit tanah.

Bagian bukit yang tersisa ditutup dengan struktur batu lapis demi lapis. Candi Borobudur pada awalnya memiliki rancangan bangunan yang sama persis dengan tingkatan bersusun piramida. Namun kemudian susunan ini diubah dan diganti dengan rancangan tiga undakan pertama yang menutup struktur asli bangunan piramida yang diubah.

Tahap Kedua

Untuk tahap selanjutnya, tahan kedua pembangunan, Candi borobudur tidak memakan banyak proses pembangunan yang lama. Karena pada tahan kedua ini hanya dilakukan proses penambahan dua undakan persegi, pagar langkan dan satu undakan melingkar.

Kemudian setelahnya, di atasnya langsung dibangun sebuah stupa induk atau tunggal yang sangat besar. Stupa besar ini kemudian yang menjadi mahkota pada puncak Candi Borobudur.

Tahap Ketiga

Pada tahapan ini rancangan bangunan Candi Borobudur mengalami perubahan. Undakan yang terletak di atas puncak dengan stupa induk yang memahkotai puncaknya dibongkar dan diganti menjadi tiga undakan lingkaran kecil. Pada undakan ini kemudian stupa-stupa kecil dibangun berbaris dan melingkar.

Pada pelataran undak-undak tersebut, diletakkan stupa induk tunggal di tengah-tengahnya menjadi mahkota puncak yang baru. Perubahan undak stupa ini dikarenakan stupa lama terlalu besar dan berat serta beresiko sehingga diganti tiga stupa kecil dan satu stupa induk.

Rancangan bangunan yang diubah juga menyebabkan pondasi candi juga agak diperlebar dan diperluas. Kemudian di kaki asli bangunan Candi Borobudur juga dibangun kaki tambahan. Kaki tambahan ini gunanya untuk menutup relief Karmawibhangga.

Tahap Keempat

Pada tahapan akhir, yaitu tahap keempat pembangunan hanya dilakukan sekedar perubahan-perubahan kecil dan tahap penyelesaian (finishing). Perubahan kecil pada bangunan Candi Borobudur hanya meliputi penyempurnaan relief, penambahan pagar langkan paling luar bangunan, perubahan tangga dan pelengkung atas gawang pintu serta juga pelebaran ujung kaki bangunan.

Setelah tahap perubahan kecil dan penyelesaian selesai, Candi Borobudur pun sampai pada selesai dibangun. Candi Borobudur diperkirakan selesai dan rampung secara total pada sekitar tahun 850 Masehi.

Penemuan Candi Borobudur

Dalam ulasan berikutnya, penulis juga akan memaparkan mengenai tahap penemuan kembali Candi Borobudur. Setelah tahap pembangunan Candi Borobudur yang memakan hampir bahkan lebih 100 tahun lamanya, Candi Borobudur sempat hilang karena tersembunyi dan terlantar selama berabad-abad.

Candi Borobudur terkubur di dalam lapisan tanah dan debu vulkanik akibat letusan gunung berapi yang kemudian lama-kelamaan tanah tersebut ditumbuhi pohon dan semak belukar sehingga masyarakat tidak tahu-menahu bahwa bukit disekitar lingkungan mereka adalah kuburan Candi raksasa. Karena pada saat itu Candi Borobudur benar-benar menyerupai bukit pada umumnya.

Tidak diketahui perihal kenapa Borobudur ditinggalkan dan ditelantarkan tidak dirawat. Menurut sejarah yang ada, salah satu kemungkinan penyebab mengapa Candi Borobudur ditinggalkan adalah dipindahkannya ibu kota kerajaan Medang oleh Raja Mpu Sindok pada tahun 928 sampai 1006 Masehi ke kawasan Jawa Timur karena terjadinya bencana yang disebabkan oleh letusan gunung berapi. Meskipun demikian, pernyataan ini juga belum bisa dipastikan karena tidak ada bukti untuk menguatkan.

Candi Borobudur kemudian ditemukan kembali, tepatnya pada tahun 1814 Masehi, oleh pemerintahan Inggris di Jawa yang dipimpin oleh Thomas Stamford Raffles yang memang memiliki ketertarikan pada sejarah dan kebudayaan Jawa. Raffles pun dianggap sangat berjasa atas penemuan kembali Candi Borobudur dan mulai menari perhatian dunia tas keberadaan monumen yang pernah hilang ini.

Kemudian pada tahun 1882 Masehi, bangunan Candi Borobudur disarankan untuk segera dibongkar seluruhnya dan menyelamatkan relief maupun artefak yang tersisa karena maraknya pencurian dan kondisi kurang stabil saat itu.

Pemugaran Candi Borobudur

Pada tahun 1900 Masehi, kemudian pemerintah Hindia Belanda mengambil langkah menjaga kelestarian Borobudur dengan proses pemugaran segera dilakukan. Proses pemugaran Candi Borobudur dilakukan pada kurun waktu 1907 sampai  1911 Masehi.

Akhir tahun 1960 an, pemerintah Indonesia meminta kerjasama pemugaran berskala internasional. Hingga pada tahun 1975 sampai 1982 bersama UNESCO, Candi Borobudur direnovasi kembali. Dan pada tahun 1991, UNESCO menetapkan Candi Borobudur masuk ke dalam Situs Warisan Dunia (world heritage). Demikian ulasan sedikit mengenai sejarah Candi Borobudur.

Kapal Borobudhur

Kapal Borobudur adalah kapal layar bercadik ganda terbuat dari kayu yang berasal dari abad ke-8 di Nusantara yang digambarkan dalam beberapa relief Borobudur. Kegunaan cadik adalah untuk menyeimbangkan dan memantapkan perahu. Perahu kano bercadik tunggal atau kembar adalah perahu khas bangsa bahari Austronesia yang digunakan dalam penjelajahan dan penyebaran mereka di Asia Tenggara Oseania, dan Samudra Hindia. Jenis perahu besar bercadik kembar yang ditampilkan di Borobudur kemungkinan besar adalah jenis kapal yang sama yang digunakan oleh dinasti Sailendra dan kemaharajaan bahari Sriwijaya yang menguasai perairan Nusantara pada kurun abad ke-7 hingga ke-13.

Desain

Panjang lunasnya adalah 17,29 m dan lambungnya sekitar 19 m (secara keseluruhan) dengan lebar 4,25 m dan tinggi lambung 2,25 m. Dalam sarat air saat berlayar adalah sekitar 1,5 m. Kapal ini didorong oleh dua layar tanja "layar persegi panjang yang miring"). Papan lambung dibuat dari bungur (kadang disebut "benteak") dan  deknya terbuat dari kayu jatu.

Ekpesisi Kapal Borobudur

Bas relief Borobudur diketahui banyak menampilkan adegan kehidupan sehari-hari Jawa Kuno abad ke-8, mulai dari adegan kehidupan bangsawan di keraton hingga rakyat kebanyakan di pedesaan. Menampilkan candi, pasar, arsitektur, satwa dan tumbuhan, perhiasan, pakaian, termasuk kendaraan seperti joli (tandu), kereta kuda, gajah tunggang, dan perahu. Pada tahun 1982, Philip Beale seorang mantan anggota Angkatan Laut Britania Raya  berkebangsaan Britania, mengunjungi Borobudur untuk mempelajari perahu tradisional dan tradisi bahari Nusantara. Ia terpikat dengan sepuluh relief di dinding Borobudur yang menggambarkan perahu kuno. Sejak saat itu ia berencana untuk membangun kembali kapal kuno ini dan melakukan napak tilas perjalanan perdagangan bahari purba. Dengan hanya membawa data terbatas — lima gambar relief — Philip Beale berencana untuk menggelar ekspedisi napak tilas pelayaran purba dari Jakarta, Indonesia menuju Madagaskar, dan kalau memungkinkan akan diteruskan hingga melampaui  Tanjung Harapan di ujung selatan Afrika hingga menyusuri pantai barat Afrika.

Hasil rekonstruksi kapal Borobudur tersimpan di Museum Samudra Raksa

Penelitian cermat dan perancangan gambar kapal dilakukan oleh kelompok pengrajin galangan kapal tradisional Indonesia yang berpengalaman. Tim ini dibentuk dan dilatih untuk membangun kapal dengan menggunakan teknologi dan teknik perkapalan tradisional. Galangan kapal tradisional ini terletak di Kepulauan Kangean, yang terletak sekitar 60 mil (96,5 km) sebelah utara Bali. Nick Burningham, seorang pakar perahu tradisional Indonesia dan arkeologi kelautan mengawasi dan menjadi konsultan pembuatan kapal ini. Kapal ini dibuat oleh Assad Abdullah al-Madani dan rekan-rekannya, ia adalah seorang pembuat perahu tradisional Indonesia yang berpengalaman, dengan hanya berbekal beberapa gambar dan model skala kecil kapal Borobudur dari kayu balsa yang dibuat Nick Burningham, ia berhasil menciptakan kembali kapal kuno ini. Kapal ini dinamai Samudra Raksa (pembela samudra) dan diresmikan di Pelabuhan Benoa, Bali pada 15 Juli 2003 oleh Menteri Pariwisata dan Kebudayaan Republik Indonesia I Gede Ardika bersama dengan Philippe Delanghe, Spesialis budaya kantor UNESCO  perwakilan Jakarta.

Ekspedisi ini memakan waktu selama 6 bulan sejak Agustus 2003 sampai Februari 2004. Perjalanan dimulai di pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta pada 30 Agustus 2003, diresmikan oleh Presiden Megawati, dan tiba di pelabuhan Tema, Accra, Ghana, pada 23 Februari 2004. Pelayaran epik ini membuktikan hubungan perdagangan bahari purba antara Indonesia dan Afrika (khususnya pesisir Afrika Timur dan Madagaskar). Jalur perdagangan komoditas kayu manis ini mengambil jalur melintasi Samudra Hindia dan singgah di Saychalles, Madagaskar, Afrika Selatan , hingga Ghana.

Kini Kapal Samudra Raksa dipamerkan dan tersimpan di Museum Samudra Raksa, terletak hanya beberapa ratus meter di sebelah utara candi Agung Borobudur, masih dalam kompleks taman purbakala Borobudur. Museum Kapal Samudra Raksa diresmikan oleh Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Republik Indonesia Prof.Dr. Alwi Shihab pada tanggal 31 Agustus 2005. Museum ini menjadi tonggak sejarah untuk mengenang dan menghargai seluruh kru dan semua pihak yang berjasa dalam keberhasilan Ekspedisi Kapal Borobudur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar